![]() |
| Foto Ilustrasi. |
Oleh: Caesario David Kaligis, B.Sc., S.H., M.H.
Transformasi hukum pidana nasional mencapai titik krusial ketika kalender mendekati pergantian tahun 2026. Masyarakat hukum di Indonesia saat ini tengah berada dalam ruang tunggu yuridis yang cukup kompleks.
Pertanyaan mengenai validitas aturan yang akan diterapkan pada tindak pidana di pengujung tahun 2025, menjadi sangat relevan.
Ketentuan peralihan bukan sekadar urusan teknis administratif, melainkan menyentuh esensi keadilan dan kepastian hukum bagi setiap individu yang berhadapan dengan sistem peradilan pidana.
Dasar utama pemberlakuan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana telah secara eksplisit ditentukan dalam Pasal 624.
Aturan tersebut menetapkan masa transisi atau vacatio legis selama tiga tahun sejak diundangkan pada 2 Januari 2023.
Secara otomatis, garis batas keberlakuan hukum secara penuh baru jatuh pada 2 Januari 2026. Peristiwa hukum yang terjadi pada Desember 2025, masih berada dalam cengkeraman kekuasaan Wetboek van Strafrecht (WvS) atau KUHP lama.
Logika hukum bersandar pada prinsip tempus delicti, di mana hukum yang digunakan harus hukum yang hidup saat tindak pidana dilakukan.
Argumentasi hukum ini diperkuat oleh Teori Kepastian Hukum yang dikemukakan oleh Jan Remmelink dalam bukunya berjudul Hukum Pidana: Komentar atas Pasal-Pasal Terpenting dari Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Belanda dan Padanannya dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia, Gramedia, (Jan Remmelink, 2003).
Remmelink menekankan hukum tidak boleh mengejutkan warga negara dengan aturan yang belum berlaku secara efektif.
Asas legalitas yang tertuang dalam Pasal 1 ayat (1) kedua kitab tersebut melarang pemberlakuan surut demi melindungi hak asasi manusia dari kesewenang-wenangan negara.
Tanpa batasan waktu yang jelas, otoritas penegak hukum bisa terjebak dalam subjektivitas yang membahayakan martabat terdakwa.
Persoalan muncul ketika peristiwa terjadi pada 2025, tapi baru dilaporkan atau diproses pada tahun 2026.
Dalam konstruksi hukum pidana, waktu pelaporan tidak mengubah status hukum materiil yang berlaku bagi perbuatan tersebut.
Penentu utama tetaplah waktu kejadian. Seseorang tidak boleh dihukum berdasarkan aturan yang belum berlaku saat ia berbuat.
Meskipun laporan polisi baru masuk di meja penyidik pada 2026, jeratan pasal utama tetap merujuk pada KUHP lama karena saat perbuatan dilakukan, itulah satu-satunya hukum yang mempunyai kekuatan mengikat.
Penerapan hukum pada masa transisi melibatkan mekanisme yang dikenal sebagai hukum yang paling menguntungkan bagi terdakwa atau lex favor reus. Pasal 3 KUHP Baru mengatur bahwa jika terjadi perubahan undang-undang setelah perbuatan dilakukan, maka digunakan ketentuan yang paling meringankan.
Seseorang yang melakukan pencurian di akhir tahun 2025, akan tetap dijerat menggunakan Pasal 362 KUHP lama.
Seandainya proses persidangan berlangsung di pertengahan tahun 2026 dan ditemukan bahwa ancaman pidana dalam KUHP Baru jauh lebih rendah atau memiliki alternatif sanksi yang lebih humanis, maka hakim memiliki kewajiban moral dan yuridis untuk menerapkan aturan baru tersebut.
Negara tidak boleh menghukum seseorang lebih berat jika standar hukum yang baru sudah menganggap perbuatan tersebut layak mendapatkan sanksi yang lebih ringan.
Meskipun suatu kasus terjadi jauh sebelum revisi, semangat hukum yang mengedepankan keadilan restoratif dalam KUHP Baru dapat menjadi pertimbangan hakim di masa depan jika menghadapi kasus pada masa transisi.
Seandainya kasus tindak pidana terjadi di akhir 2025, mungkin pelaku tetap didakwa dengan pasal lama, tetapi saat vonis dijatuhkan di tahun 2026, hakim dapat menggunakan mekanisme pemaafan hakim (judicial pardon) yang secara resmi diakui dalam UU 1/2023.
Pergeseran nilai dari pidana sebagai sarana balas dendam menjadi sarana rehabilitasi menjadi titik tekan dalam argumentasi ini.
Terkait hukum acara atau KUHAP, situasi yang dihadapi berbeda karena hukum acara bersifat segera atau ius contitutum.
Romli Atmasasmita dalam buku Sistem Peradilan Pidana Kontemporer (Romli Atmasasmita, 2011) menjelaskan bahwa hukum formal atau prosedur peradilan mengikuti aturan yang berlaku saat tindakan hukum dilakukan.
Apabila seseorang ditangkap atau dilaporkan pada tahun 2026 atas kejadian tahun 2025, maka tata cara pelaporan, penyelidikan, hingga penyidikan mengikuti KUHAP yang berlaku saat laporan itu dibuat.
Jika pada 2026 telah sah berlaku KUHAP yang baru, maka segala bentuk administrasi dan prosedur teknis kepolisian harus tunduk pada aturan baru tersebut tanpa melihat kapan kejahatannya terjadi.
Keabsahan tindakan hukum di penghujung 2025 tetap bergantung pada aturan lama guna menjaga stabilitas sosial dan mencegah kekosongan hukum.
Para penegak hukum dituntut untuk jeli dalam melakukan komparasi pasal demi pasal antara WvS dan UU 1/2023.
Perdebatan mengenai mana yang lebih menguntungkan seringkali bersifat kualitatif, bukan sekadar melihat angka lamanya hukuman.
Pemberlakuan ini merupakan jembatan menuju kedaulatan hukum nasional yang mandiri, tapi tetap harus menghormati hak-hak terdakwa sebagai subjek hukum yang tidak boleh dikorbankan demi percepatan implementasi aturan baru.
Kedudukan hukum pidana nasional yang baru memberikan harapan akan sistem yang lebih adil dan berakar pada nilai-nilai keindonesiaan.
Proses hukum yang transparan dan akuntabel di masa peralihan akan menjadi tolok ukur kesiapan lembaga peradilan kita.
Hakim, jaksa, dan pengacara harus memperdalam pemahaman mengenai sinkronisasi kedua aturan ini. Ketelitian dalam menerapkan pasal peralihan akan mencegah terjadinya ketidakadilan.
Transisi ini bukan sekadar pergantian teks undang-undang, melainkan perubahan pola pikir dalam memandang kesalahan dan hukuman.
Kepastian bahwa kasus 2025 tetap berpijak pada aturan yang ada memberikan rasa aman bagi publik bahwa hukum tidak bergerak secara sporadis tanpa dasar yang jelas.
Melalui pemahaman yang utuh terhadap Pasal 1 ayat (2) KUHP lama dan Pasal 3 KUHP baru, keadilan bagi warga negara tetap terjaga di tengah badai perubahan regulasi.
Penting bagi praktisi hukum untuk menyadari bahwa setiap laporan yang masuk di tahun 2026 atas peristiwa 2025 membawa dua wajah hukum sekaligus.
Wajah pertama adalah hukum lama yang menentukan apakah perbuatan itu salah, dan wajah kedua adalah hukum baru yang menentukan seberapa adil hukuman yang pantas diterima.
Sinkronisasi ini memastikan bahwa meskipun kita melangkah maju ke sistem hukum nasional yang mandiri, kita tidak meninggalkan prinsip perlindungan hak individu yang telah lama dijunjung tinggi.
Penulis adalah Pengacara dan Managing Partners di Kaligis & Associates
Sumber: kompas.com

Tidak ada komentar:
Tulis komentar