Jumat, 05 Desember 2025

Kehadiran Negara Mencegah Bencana

Banjir Bandang di Padang Pariaman

Oleh: Firdaus Arifin 


Setiap kali banjir bandang, longsor, atau angin kencang memutus jalan dan merenggut nyawa, kita selalu tersentak seolah-olah belum pernah mengalaminya sebelumnya. Padahal negeri ini hidup di persimpangan geologi dan iklim yang ekstrem; bencana bukan anomali, tetapi bagian dari alamat rumah kita.


Indonesia adalah negara cincin api, negara sungai besar, negara hujan tropis. Bencana adalah tetangga yang akrab — namun negara sering memperlakukannya seperti tamu tak diundang.


Di Sumatera, dalam beberapa hari terakhir, kita melihat lagi drama yang sama: warga terjebak di atap rumah, jembatan putus, sekolah hanyut, dan pemerintah bergerak setelah korban jatuh.


Kita selalu berada satu langkah terlambat dari bencana. Reaksi kita kuat, tetapi antisipasi kita lemah. Kita menguasai teknologi untuk membangun gedung pencakar langit, tetapi sering gagal memastikan bukit tetap berdiri tegak.


Kita mampu membangun jalan tol yang megah, tetapi tak selalu mampu menjaga aliran sungai tetap bersih dan aman. Negara, dalam momentumnya yang sering reaktif, tampak hadir ketika sirene berbunyi. Namun, pertanyaannya lebih mendasar: apakah negara hadir sebelum sirene itu berbunyi?


Lupa


Sebagian besar bencana bukan peristiwa tiba-tiba. Ia adalah proses panjang yang dipupuk dengan alpa. Lupa terhadap tata ruang, lupa menjaga hutan, lupa pada siklus air, lupa mendengar suara ahli geologi dan hidrologi, lupa melibatkan masyarakat adat yang menjaga alam berabad-abad.


Kita hanya mengingat alam ketika ia mengamuk, bukan ketika ia memberi tanda. Negara sering sibuk menyusun proyek-proyek besar, tetapi abai menata pondasi ekologisnya.


Di beberapa daerah, izin perkebunan diberikan tanpa kajian risiko bencana; tambang dibuka tanpa mempertimbangkan daya dukung tanah; permukiman tumbuh liar di bantaran sungai; drainase perkotaan tersumbat oleh sampah yang seolah tak bertuan.


Ketika hujan ekstrem datang — bagian dari pola iklim global yang makin tak menentu — semua kelalaian itu menyeret kita ke jurang krisis. Bencana bukan sekadar fenomena alam. Ia adalah hasil interaksi antara alam dan keputusan manusia.


Dan di negeri ini, keputusan itu terlalu sering sibuk mengejar pertumbuhan ekonomi jangka pendek ketimbang keselamatan jangka panjang.


Dalam banyak bencana, kita menyaksikan jarak yang mencolok antara negara dan rakyatnya. Ketika warga kehilangan rumah, negara hadir melalui konferensi pers; ketika anak-anak terjebak banjir, negara hadir melalui kunjungan pejabat; ketika jembatan runtuh, negara hadir melalui perintah percepatan pembangunan. Tetapi kedekatan itu baru muncul setelah dampaknya tak bisa lagi disembunyikan.


Apa yang sesungguhnya dibutuhkan rakyat bukan sekadar kehadiran setelah bencana, melainkan kehadiran yang mencegah bencana. Negara seharusnya hadir bukan hanya dalam bentuk bantuan logistik, tetapi dalam bentuk kepastian ruang hidup. Dalam bentuk peta risiko yang dipahami publik.


Dalam bentuk edukasi kebencanaan yang tidak hanya muncul menjelang musim hujan. Ketika negara dan rakyatnya hidup dalam dua ritme berbeda — negara dalam bahasa administrasi, rakyat dalam bahasa survival — maka bencana menjadi penghubung yang pahit. Sebab bencana mempertemukan keduanya dalam momen yang paling rentan. Kuasa


Negara memiliki kuasa terbesar dalam penataan ruang, izin usaha, pembangunan infrastruktur, dan perlindungan lingkungan. Kuasa itu bisa menjadi penolong, tetapi bisa pula menjadi penyebab bencana jika dijalankan tanpa kebijaksanaan ekologis.


Ketika negara terlalu akrab dengan modal, hutan kehilangan hak suaranya. Ketika negara terlalu sibuk dengan proyek strategis, sungai kehilangan alurnya.


Ketika negara terlalu percaya diri pada beton, ia lupa bahwa tanah memiliki memori dan batas kesabaran. Bencana adalah cermin bagi kualitas tata kelola. Negara yang tangguh bukan negara yang paling cepat membangun kembali jembatan yang runtuh, melainkan negara yang mampu mencegah jembatan runtuh.


Negara yang tangguh bukan negara yang memberi santunan besar, melainkan negara yang memastikan rakyatnya tidak perlu disantuni karena mereka selamat.


Kuasa negara harus dirawat dengan kesadaran filosofis paling dasar: bahwa kekuasaan tidak hanya memerintah manusia, tetapi juga berdialog dengan alam.


Renungan


Negara harus mengakui bahwa bencana adalah bagian dari kehidupan bangsa, tetapi tidak boleh menyerah pada takdir. Di sinilah letak filsafat alam bertemu filsafat pemerintahan: bahwa hidup bersama alam memerlukan kerendahan hati, pengetahuan, dan keberanian politik.


Kerendahan hati berarti menyadari bahwa alam memiliki hukum yang tidak tunduk pada regulasi manusia. Pengetahuan berarti mendengar ilmu pengetahuan sebelum mendengar kalkulator proyek. Keberanian politik berarti menolak izin yang membahayakan, meski tekanan ekonomi begitu kuat.


Bangsa yang bijak bukan bangsa yang membangun lebih banyak, tetapi bangsa yang membangun lebih cerdas — dengan menghormati sungai sebagai entitas hidup, hutan sebagai pelindung, dan tanah sebagai memori ekologis.


Negara yang matang adalah negara yang tidak menganggap bencana sebagai gangguan terhadap agenda pembangunan, tetapi sebagai sinyal untuk memperbaiki orientasi pembangunan itu sendiri.


Meski Indonesia kerap dilanda bencana, harapan selalu ada. Kita punya ilmuwan terbaik, komunitas adat yang menjaga alam dengan kearifan, organisasi masyarakat yang bekerja tanpa pamrih, dan warga yang selalu siap membantu sesama.


Yang kita butuhkan adalah negara yang mengoordinasikan semuanya dalam satu kesadaran: bahwa keselamatan ekologis adalah prasyarat keselamatan nasional.


Jika negara mampu menutup jarak dengan rakyat, menghapus lupa terhadap tata ruang, dan menggunakan kuasanya untuk melindungi bukan mengorbankan, maka bencana bukan lagi menjadi tragedi besar, melainkan tantangan yang bisa dihadapi bersama.


Akhirnya, hubungan negara dan bencana bukan semata soal penanganan darurat, tetapi soal karakter negara itu sendiri. Apakah ia hadir sebagai birokrasi yang reaktif — atau sebagai penjaga peradaban yang visioner?


Jawabannya lahir dari keputusan-keputusan kecil hari ini: izin apa yang diteken, hutan mana yang diselamatkan, sungai mana yang dipulihkan, dan warga mana yang didengarkan. Karena dalam bencana, negara tidak hanya sedang diuji kemampuannya; negara sedang diuji nuraninya.


Penulis adalah Dosen Fakultas Hukum Universitas Pasundan & Sekretaris APHTN HAN Jawa Barat


Sumber: kompas.com

Show comments
Hide comments
Tidak ada komentar:
Tulis komentar

Berita Terbaru

Back to Top