Kamis, 13 November 2025

Masa Depan Anak Berhadapan dengan Hukum

SMA Negeri 72 Jakarta. 

Oleh: Mugi Muryadi


Kasus ledakan di SMAN 72 Jakarta, Kelapa Gading, 7 November 2025, sekitar pukul 12.15 WIB lalu mengejutkan banyak orang.


Pelakunya adalah seorang siswa yang masih aktif sekolah di SMA itu, dan kini ia telah ditetapkan polisi sebagai Anak Berhadapan dengan Hukum (ABH).


Kapolda Metro Jaya, Irjen Asep Edi Suheri, menegaskan bahwa pelaku bertindak secara mandiri, tanpa keterlibatan jaringan teror.


Fakta ini memunculkan pertanyaan: apa yang mendorong seorang remaja itu membuat bom dan meledakkannya di sekolah?


Pertanyaan itu membawa kita pada ranah lebih luas, yaitu tentang kondisi psikologis, sosial, dan digital anak-anak Indonesia hari ini.


Jika ditelusuri lebih dalam, setidaknya ada tiga kemungkinan motif yang saling berkelindan, yaitu balas dendam akibat perundungan (bullying), pengaruh konten kekerasan di media digital, dan masalah psikologis yang belum tertangani dengan baik.


Ketiganya bukan hanya kasus individu, tapi cerminan dari sistem sosial yang mulai kehilangan daya pelindung terhadap anak.


Data Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) dan Kemendikbudristek mencatat, kasus perundungan di sekolah meningkat tajam sepanjang 2025.


Berdasarkan laporan (2025), tahun ini ada lebih dari 3.000 laporan kasus bullying di lingkungan pendidikan, dan KPAI menyebut 25 anak meninggal dunia akibat tekanan psikis akibat perundungan.


Angka ini menggambarkan kenyataan pahit, yakni banyak sekolah belum benar-benar menjadi tempat yang aman bagi siswanya. Banyak anak yang terluka karena hinaan, ancaman, atau pengucilan dari teman sekelasnya.


Dalam kondisi itu, kemarahan dan dendam bisa tumbuh diam-diam, lalu meledak menjadi perilaku ekstrem.


Sosiolog Emile Durkheim pernah menulis, penyimpangan sosial sering kali lahir dari tekanan lingkungan yang tidak sehat.


Artinya, ketika sekolah gagal menciptakan rasa aman, maka perilaku destruktif bukan sekadar kenakalan pribadi, tapi gejala sosial yang lebih dalam.


Selain perundungan, paparan konten kekerasan di media digital juga tak bisa diabaikan. Polisi mengungkap bahwa pelaku ledakan SMAN 72 belajar merakit bom dari situs gelap (dark web) dan sering menonton konten kekerasan.


Temuan ini sejalan dengan riset yang diterbitkan oleh Jurnal Ilmu Pendidikan (STKIP Yapis Dompu, 2025), yang menunjukkan hubungan signifikan antara intensitas menonton konten kekerasan dengan meningkatnya perilaku agresif anak.


Anak-anak masa kini hidup di dunia tanpa pagar. Gawai di tangan membuat mereka bebas mengakses apa pun, termasuk film atau game kekerasan.


Padahal, menurut teori Social Learning dari Albert Bandura, anak cenderung meniru perilaku yang sering mereka lihat, termasuk kekerasan yang tampak “heroik” di layar.


Sayangnya, hingga sekarang ini, belum ada filter digital nasional yang benar-benar efektif membatasi akses anak terhadap konten ekstrem.


Meski Kementerian Komdigi sudah menyiapkan peta jalan perlindungan anak di ranah digital (DPR RI, 2025), pengawasan masih lemah di level keluarga dan sekolah.


Akibatnya, banyak anak menjelajah internet tanpa pendampingan, tanpa tahu bahwa yang mereka tonton bisa memengaruhi cara berpikir dan bertindak.


Kemungkinan lain dan sering terlupakan, adalah faktor psikologis. Banyak anak yang terlibat pelanggaran hukum ternyata menyimpan luka batin yang belum tersentuh terapi.


Dalam laporan Jurnal Aktivisme APPHI (2025), disebutkan bahwa anak korban kekerasan rumah tangga memiliki risiko empat kali lebih tinggi untuk melakukan tindakan agresif di masa remaja.


Kondisi ini diperkuat temuan Komnas PA (2025) bahwa 70 persen anak yang berhadapan dengan hukum mengalami gangguan emosi atau trauma masa kecil.


Mereka tumbuh tanpa rasa aman, tanpa ruang untuk menyalurkan marah atau kecewa. Ketika tekanan sosial bertambah dari bullying hingga paparan media negatif, luka itu bisa berubah menjadi tindakan berbahaya.


Psikolog anak, Seto Mulyadi, menegaskan bahwa anak yang melakukan kekerasan sebenarnya sedang berteriak minta tolong.


Mereka tidak butuh hukuman keras, tapi butuh pendampingan agar bisa kembali menemukan dirinya.


Kasus di SMAN 72 bukan sekadar cerita kriminal, tapi alarm sosial bagi kita semua. Kita tak bisa hanya menyalahkan satu pihak.


Kasus ini bukan sepenuhnya kesalahan anak dan juga bukan hanya kegagalan sekolah.


Ini adalah cerminan sistem pendidikan, keluarga, dan masyarakat yang belum seimbang dalam menjaga tumbuh kembang anak.


Kementerian Hukum dan menegaskan bahwa istilah “Anak Berkonflik dengan Hukum” digunakan agar negara tidak melabel anak sebagai penjahat. Anak perlu dipandang sebagai korban dari situasi sosial yang tidak berpihak padanya.


Solusinya tidak cukup berhenti pada hukuman. Kita memerlukan pendekatan restorative justice, yang fokusnya bukan menghukum atas kesalahan, tapi memulihkan hubungan dan mental anak.


Dalam hal ini, sekolah bisa membangun ruang konseling yang benar-benar aktif, bukan hanya formalitas.


Program “Safe Buddy”, aplikasi anonim untuk melapor bullying, bisa dikembangkan. Pemerintah juga bisa menggandeng platform digital untuk menampilkan filter otomatis konten kekerasan.


Di sisi psikologis, sekolah perlu membentuk kelompok dukungan emosional (Healing Circle) agar siswa punya tempat aman untuk bicara dan didengar. Orangtua memiliki peran sentral.


Pengawasan bukan sekadar membatasi gawai, tapi membangun komunikasi empatik di rumah. Guru dan sekolah harus menciptakan iklim yang mendukung, bukan menekan.


Begitu pun masyarakat, termasuk media, perlu berhati-hati agar tidak mempermalukan anak yang sedang berproses hukum. Sebab, label bisa jadi penjara seumur hidup. Anak yang berhadapan dengan hukum tetaplah anak bangsa.


Mereka adalah bagian dari masa depan kita, yang seharusnya disembuhkan, bukan dihakimi. Jika kita mampu membangun ekosistem pendidikan yang aman, literasi digital yang kuat, dan sistem pendampingan psikologis yang inklusif, kasus seperti di SMAN 72 tidak perlu terulang.


Seperti tertulis dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, “kepentingan terbaik bagi anak adalah kepentingan terbaik bagi kemanusiaan.”


Maka, masa depan anak ABH bukan soal hukum semata, tapi tentang sejauh mana kita, orang dewasa, berani memperbaiki dunia tempat mereka tumbuh.


Penulis adalah Pendidik, Pegiat Literasi, Praktisi dan Pemerhati Pendidikan


Sumber: kompas.com

Show comments
Hide comments
Tidak ada komentar:
Tulis komentar

Berita Terbaru

Back to Top