![]() |
| Ilustrasi Gedung KPU. |
Oleh: Firdaus Arifin
Setiap kali pemilu usai, kita kembali dihadapkan pada satu pertanyaan mendasar: apakah lembaga penyelenggara pemilu kita masih cukup mandiri untuk menjaga kedaulatan rakyat dari intervensi kekuasaan?
Pertanyaan itu makin relevan setelah Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) menjatuhkan peringatan keras kepada Ketua KPU RI, empat anggota, dan Sekretaris Jenderal karena penggunaan pesawat jet pribadi sebanyak 59 kali dengan anggaran negara—sebagian bahkan bukan untuk daerah 3T (putusan DKPP, 21 Oktober 2025).
Kasus ini membuka tabir persoalan lebih dalam: lembaga yang seharusnya steril dari kemewahan justru terjebak dalam kultur kekuasaan.
Padahal, Pasal 22E UUD 1945 menegaskan bahwa pemilu harus diselenggarakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil.
Kemandirian lembaga penyelenggara adalah jantung dari free and fair election. Tanpa independensi dan integritas, demokrasi kehilangan denyutnya.
Struktur kelembagaan penyelenggara pemilu di Indonesia pascareformasi dibangun di atas prinsip checks and balances. Ada tiga lembaga: Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebagai penyelenggara teknis, Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) sebagai pengawas, dan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) sebagai penjaga etik.
Desain tripartit ini lahir dari koreksi atas praktik Orde Baru yang memusatkan kendali pemilu di tangan kekuasaan. Namun dua dekade kemudian, muncul gejala baru: koordinasi yang renggang, batas fungsi yang kabur, dan ego lembaga yang kerap bersilang.
Data Bawaslu 2024 mencatat 2.264 laporan dan temuan dugaan pelanggaran (1.562 laporan masyarakat + 702 temuan pengawas). Sebagian besar berupa pelanggaran administrasi dan lemahnya koordinasi antarpenyelenggara.
Sementara DKPP RI menerima ratusan pengaduan kode etik terhadap anggota KPU dan Bawaslu sepanjang tahun yang sama. Konflik kewenangan sering muncul ke ruang publik.
Alih-alih meneguhkan kepercayaan, yang tampak justru lembaga-lembaga ini saling menguji siapa yang lebih berkuasa menafsir “keadilan pemilu”.
Redesain kelembagaan tidak berarti membongkar total struktur yang ada, tetapi menata ulang agar fungsinya jelas dan logis.
Pertama, KPU harus diperkuat sebagai lembaga teknokratis yang profesional. Seleksi anggota perlu berbasis kompetensi, integritas, dan rekam jejak etik, bukan sekadar hasil kompromi politik.
Kedua, Bawaslu harus berevolusi menjadi electoral law enforcement agency—penegak hukum pemilu, bukan hanya pengawas pasif. Banyak laporan berhenti di meja Bawaslu karena terbatasnya kewenangan menindak.
Ketiga, DKPP perlu ditempatkan secara proporsional.
Fungsinya menjaga etik penyelenggara, bukan mengintervensi teknis pelaksanaan. Etika tidak boleh dijadikan pintu belakang untuk mengoreksi keputusan administratif KPU.
Model idealnya: diferensiasi fungsional—KPU mengelola teknis, Bawaslu mengawasi dan menegakkan, DKPP mengawal etik. Dengan begitu, tiap lembaga berjalan dalam orbitnya sendiri tanpa saling menabrak.
Kasus private jet KPU memperlihatkan persoalan akut akuntabilitas. Penggunaan uang rakyat untuk kepentingan yang tak relevan dengan tugas publik adalah bentuk kemerosotan moral kelembagaan.
Akuntabilitas perlu dua jalur. Pertama, pengawasan internal melalui unit audit independen di bawah Sekretariat Jenderal.
Kedua, pengawasan eksternal melalui DPR, BPK, dan publik dengan akses terbuka terhadap laporan keuangan, perjalanan dinas, dan kontrak pengadaan.
Lembaga penyelenggara pemilu bukan “negara dalam negara”. Transparansi bukan ancaman, melainkan benteng kepercayaan.
Kanada dan India telah membuktikan, pengawasan etik publik dapat berjalan tanpa merusak independensi komisi pemilihan.
Masalah terbesar lembaga penyelenggara bukan pada struktur, melainkan pada manusia di dalamnya.
Undang-undang dapat disempurnakan, tapi tanpa integritas personal, sistem apa pun akan rapuh.
Sejarah pascareformasi mencatat: ada anggota KPU yang tersangkut suap rekapitulasi, anggota Bawaslu yang menerima gratifikasi, hingga pejabat penyelenggara daerah yang bermain logistik.
Semua itu menandakan bahwa virus kekuasaan dapat menjangkiti lembaga yang seharusnya menjaga kemurnian demokrasi.
Karena itu, pembenahan rekrutmen menjadi krusial: terbuka, meritokratis, dan berbasis rekam jejak publik, bukan transaksional. Integritas harus menjadi prasyarat, bukan hasil ujian sesudah duduk di kursi lembaga.
Pasal 22E ayat (5) UUD 1945 menegaskan: “Pemilihan umum diselenggarakan oleh suatu Komisi Pemilihan Umum yang bersifat nasional, tetap, dan mandiri.”
Namun, tafsir praktiknya berkembang menjadi tiga lembaga terpisah—KPU, Bawaslu, DKPP—yang bersama-sama disebut penyelenggara.
Dua dekade berjalan, muncul evaluasi: apakah struktur tiga lembaga ini masih efisien?
Sebagian ahli mengusulkan model unified electoral management body (EMB terpadu) seperti di Korea Selatan dan Afrika Selatan, di mana penyelenggaraan, pengawasan, dan etik berada dalam satu lembaga besar dengan divisi independen.
Untuk Indonesia, langkah ini butuh amandemen konstitusi. Namun, perbaikan dapat dimulai lewat revisi undang-undang: memperjelas fungsi, memperkuat koordinasi, dan mempersingkat rantai birokrasi tanpa mengorbankan independensi.
DKPP adalah penjaga etik, bukan aktor politik baru. Namun, dalam beberapa putusan, lembaga ini dinilai masuk terlalu dalam ke ranah teknis penyelenggaraan.
Kritik akademik terhadap “overreach DKPP” muncul karena batas antara etik dan teknis belum tegas. Etika semestinya berfungsi sebagai kompas moral, bukan pedang pengawasan.
Redesain kelembagaan harus menegaskan batas itu: DKPP bekerja menjaga marwah penyelenggara, bukan mengatur jalannya tahapan. Komposisi DKPP idealnya lebih mencerminkan unsur keadaban publik: akademisi, tokoh masyarakat, dan praktisi etik, bukan hasil kompromi politik.
Dengan begitu, etik kembali menjadi wilayah kehormatan, bukan arena tarik-menarik kepentingan.
Survei Indikator Politik Indonesia (Februari 2024) menunjukkan 82 persen warga puas terhadap penyelenggaraan Pemilu 2024, dan 79,3 persen menilai prosesnya jujur dan adil.
Survei LSI (April 2024) mencatat 78,8 persen publik percaya keputusan KPU, tapi tingkat kepuasan hanya 71,2 persen.
Artinya, masyarakat relatif puas dengan hasil, tetapi belum sepenuhnya percaya kepada penyelenggara.
Demokrasi yang sehat mestinya ditopang trust on process, bukan sekadar trust on outcome.
Lembaga penyelenggara harus membangun komunikasi publik yang terbuka, merespons kritik dengan empati, dan menunjukkan akuntabilitas nyata. Kepercayaan publik tidak bisa dibeli dengan iklan atau slogan, melainkan dibangun melalui kesungguhan menjaga integritas setiap suara.
Reformasi
Redesain kelembagaan tidak dapat berdiri sendiri; ia harus menjadi bagian dari reformasi hukum kepemiluan yang lebih besar. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu perlu direvisi agar lebih adaptif terhadap teknologi, pemilu serentak, dan tata kelola digital.
Digitalisasi bukan sekadar alat, tetapi instrumen transparansi dan akurasi. Dari pendaftaran pemilih hingga rekapitulasi suara, sistem elektronik harus memperkuat keadilan dan keterbukaan, bukan membuka celah manipulasi.
Reformasi juga mencakup penyederhanaan struktur lembaga; penguatan mekanisme etik dan disiplin internal; audit anggaran terbuka; serta kolaborasi dengan lembaga penegak hukum untuk menindak pelanggaran pidana pemilu.
Demokrasi modern memerlukan kelembagaan yang lincah, bersih, dan berintegritas. Tanpa itu, pemilu hanya menjadi ritual lima tahunan tanpa makna substantif.
Lembaga penyelenggara pemilu adalah penjaga marwah demokrasi. Mereka menyalakan obor keadilan di tengah hutan kepentingan politik. Jika obor itu padam oleh ambisi, korupsi, atau hedonisme kekuasaan, maka gelaplah jalan republik ini.
Redesain lembaga penyelenggara pemilu bukan hanya proyek birokrasi, tetapi upaya memulihkan kehormatan publik.
Dari lembaga yang ingin dilayani menjadi lembaga yang melayani rakyat dengan nurani. Karena demokrasi sejati tak diukur dari jumlah suara yang dihitung, tetapi dari sejauh mana kejujuran dijaga, dan marwah keadilan tidak dijual.
Penulis adalah Dosen Fakultas Hukum Universitas Pasundan & Sekretaris APHTN HAN Jawa Barat.
Sumber: kompas.com

Tidak ada komentar:
Tulis komentar