![]() |
| Mantan Ketua PN Jakarta Selatan, Muhammad Arif Nuryanta. |
JAKARTA, GebrakNasional.Com - Mantan Ketua Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan, Muhammad Arif Nuryanta divonis 12,5 tahun penjara karena terbukti menerima suap dalam kasus penanganan perkara pemberian vonis lepas atau ontslag kepada tiga korporasi crude palm oil (CPO).
"Mengadili, menjatuhkan pidana kepada terdakwa dengan pidana penjara selama 12,5 tahun penjara dan denda Rp 500 juta subsider enam bulan penjara," ujar Hakim Ketua Effendi saat membacakan amar putusan dalam sidang Pengadilan Tipikor pada PN Jakarta Pusat, Rabu, 03 Desember 2025.
Arif Nuryanta terbukti menerima suap senilai Rp 14,7 miliar dan mempengaruhi Majelis Hakim yang mengadili perkara CPO, Djuyamto, Agam Syarif Baharudin, dan Ali Muhtarom untuk memberikan vonis lepas kepada pihak korporasi.
Karena terbukti menerima suap, Arif dijatuhkan hukuman untuk membayar uang pengganti sesuai nilai suap yang diterima.
Namun, sebelum vonis dibacakan, Arif telah mengembalikan sebagian uang suap ini sehingga besaran denda dan ancaman pidana tambahan akan disesuaikan.
Dalam prosesnya, Arif dinilai menjadi penghubung antara pihak pengadilan dengan pihak korporasi yang sedang berperkara.
Arif diketahui beberapa kali bertemu dengan pengacara tiga korporasi CPO, Ariyanto bersama dengan Panitera Muda PN Jakarta Utara nonaktif Wahyu Gunawan.
Pada pertemuan ini, Ariyanto meminta agar Wilmar Group, Permata Hijau Group, dan Musim Mas Group diperhatikan serta dibantu.
Permintaan Ariyanto ini diladeni oleh Arif sehingga berujung vonis lepas bagi ketiga korporasi. Perbuatan Arif dan terdakwa lainnya dinilai telah mencederai citra Mahkamah Agung (MA) dan penegakan hukum di Indonesia.
Ia diyakini telah melanggar Pasal 6 Ayat 2 juncto Pasal 18 UU Tipikor juncto Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP.
Tiga Hakim Divonis Bersalah
Djuyamto, Agam, dan Ali sudah lebih dahulu dinyatakan bersalah. Mereka divonis 11 tahun penjara dengan denda Rp 500 juta subsider 6 bulan penjara. Djuyamto terbukti menerima suap dari pihak korporasi kurang lebih senilai Rp 9,2 miliar.
Sementara, dua hakim anggotanya, Agam Syarif Baharudin dan Ali Muhtarom masing-masing dinyatakan terbukti menerima suap senilai Rp 6,4 miliar.
Karena telah menerima suap, ketiganya juga dihukum untuk membayar uang pengganti atau mengembalikan uang suap ini kepada negara. Tapi, sebelum vonis dibacakan, para terdakwa sudah mengembalikan sebagian uang suap yang disinggung dalam dakwaan. Alhasil, besaran denda uang pengganti dan hukuman pidana penjara tambahannya akan menyesuaikan jumlah uang yang belum atau tidak bisa dibayarkan.
Perjalanan Kasus
Perkara tiga korporasi CPO bergulir di Pengadilan Tipikor Jakarta pada tahun 2024. Sebelum berkas masuk ke pengadilan, sejumlah upaya pengamanan telah dilakukan.
Ariyanto Bakri selaku pengacara pihak korporasi menghubungi terdakwa sekaligus Panitera Muda PN Jakarta Utara nonaktif, Wahyu Gunawan dengan maksud menanyakan apakah ada kenalan di PN Jakpus.
Wahyu mengaku mengenal dengan Arif Nuryanta yang saat itu menjabat sebagai Wakil Ketua PN Jakpus.
Atas permintaan Ariyanto, Wahyu pun mempertemukan Ariyanto dengan Arif Nuryanta. Dalam perjalanannya, Ariyanto, Wahyu, dan Arif Nuryanta beberapa kali bertemu untuk membahas soal nasib perkara tiga korporasi CPO.
Berdasarkan perhitungan hakim, total uang suap yang diberikan Ariyanto kepada kelima terdakwa mencapai 2 juta dollar Amerika Serikat atau setara Rp 39-40 miliar.
Pemberian ini dilakukan dalam dua kali, yaitu pada Mei dan Oktober 2024. Dalam surat dakwaan, kelima terdakwa menerima uang suap dengan jumlah yang berbeda. Arif Nuryanta menerima Rp 14,7 miliar, Wahyu menerima Rp 2,3 miliar.
Lalu, majelis hakim yang mengadili perkara, Djuyamto selaku ketua majelis menerima Rp 9,2 miliar; Ali dan Agam selaku hakim anggota, masing-masing menerima Rp 6,4 miliar. (*/red)

Tidak ada komentar:
Tulis komentar