![]() |
| Permukiman warga di Aceh Tamiang yang terdampak bencana banjir bandang. |
Oleh: Taufiq A Gani
Tulisan saya sebelumnya tentang Operasi Militer Selain Perang (OMSP) pada awal bencana di Sumatera menegaskan satu masalah kunci: negara kerap ragu bergerak cepat karena komando dan keputusan tidak segera muncul.
Tulisan ini berangkat dari temuan tersebut dan memperluas analisis ke ranah kebijakan, dengan menyoroti bagaimana miskonsepsi tentang status darurat bencana dan masuknya bantuan asing ikut membentuk keraguan itu.
Bencana banjir yang kembali melanda sejumlah wilayah Sumatera memperlihatkan pola lama yang belum dibenahi. Perdebatan publik justru tersedot pada soal status bencana, sementara masyarakat membutuhkan pertolongan cepat.
Dalam situasi seperti ini, isu masuknya bantuan asing sering dipahami secara keliru, seolah-olah bantuan internasional hanya boleh hadir setelah suatu wilayah ditetapkan sebagai bencana nasional oleh Presiden.
Miskonsepsi Publik Tentang Bantuan Asing
Padahal, jika ditelusuri secara jernih, kerangka hukum kebencanaan Indonesia tidak pernah menempatkan status nasional sebagai prasyarat kemanusiaan. Yang menjadi kunci adalah fase tanggap darurat, komando negara, dan koordinasi yang jelas—bukan label administratif.
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana menegaskan tanggung jawab negara dalam menangani bencana serta membuka ruang penerimaan bantuan internasional sesuai peraturan perundang-undangan.
Tidak ada satu pun pasal yang menyatakan bahwa bantuan internasional baru boleh masuk setelah penetapan status bencana nasional.
Penjabaran teknis justru diatur lebih rinci melalui dua peraturan pemerintah: PP Nomor 21 Tahun 2008 dan PP Nomor 23 Tahun 2008. PP Nomor 23 Tahun 2008 secara tegas menempatkan fase tanggap darurat sebagai konteks utama keterlibatan bantuan internasional.
Regulasi ini tidak mengenal istilah “bencana nasional” sebagai prasyarat. Dalam Pasal 8 ditegaskan bahwa pada saat tanggap darurat, lembaga internasional dan lembaga asing nonpemerintah dapat memberikan bantuan secara langsung, dengan kewajiban pelaporan dan berada di bawah persetujuan serta komando BNPB.
Ukurannya adalah kebutuhan tanggap darurat, bukan status administratif wilayah. Dengan demikian, dari sisi hukum, persoalannya bukan boleh atau tidaknya bantuan asing, melainkan siapa yang memegang komando dan bagaimana mekanisme negara dijalankan.
Bantuan internasional dalam fase ini tetap berada di bawah kendali negara dan tidak boleh membawa kepentingan politik maupun keamanan.
Status Darurat Bencana dan Fungsinya
Di sisi lain, PP Nomor 21 Tahun 2008 menjelaskan fungsi Status Keadaan Darurat Bencana sebagai instrumen tata kelola. Status ini ditetapkan sesuai tingkatan bencana: Presiden untuk nasional, gubernur untuk provinsi, dan bupati/wali kota untuk kabupaten/kota.
Artinya, penetapan tanggap darurat oleh gubernur pada skala provinsi sudah sah dan cukup secara hukum. Tidak ada kewajiban menunggu keputusan presiden untuk membuka ruang bantuan internasional.
Fungsi status darurat adalah memberikan kemudahan akses negara, termasuk pengerahan sumber daya, logistik, perizinan, imigrasi, pengadaan barang dan jasa, serta penguatan komando lintas sektor.
Status berfungsi sebagai tuas percepatan administratif dan pengendalian, bukan sebagai pintu hukum boleh atau tidaknya bantuan asing masuk. Kendali nasional tetap dijaga melalui koordinasi dan persetujuan BNPB.
Kerangka normatif tersebut tidak berhenti pada teks regulasi. Di lapangan, mekanisme ini benar-benar dijalankan.
Aceh menjadi lensa yang paling jelas untuk membaca persoalan ini. Bukan karena wilayah lain di Sumatera tidak terdampak, melainkan karena di provinsi inilah perdebatan status, kebutuhan bantuan asing, dan respons negara bertemu secara paling terbuka di ruang publik.
Fakta lapangan memperlihatkan bahwa kebutuhan akan bantuan internasional bukan sekadar perdebatan normatif.
Dalam bencana di Aceh, pemerintah daerah tidak hanya berkoordinasi dengan pemerintah pusat, tetapi juga mengambil inisiatif proaktif.
Gubernur Aceh Muzakir Manaf memperpanjang status tanggap darurat sebagai landasan pengerahan sumber daya dan melibatkan relawan dari China yang dilengkapi alat pendeteksi jenazah untuk membantu pencarian korban yang masih tertimbun lumpur.
Fakta ini menunjukkan bahwa kebutuhan teknis di lapangan telah membuka ruang bagi bantuan asing, bahkan sebelum wacana penetapan status nasional mengemuka di ruang publik.
Selain itu, Pemerintah Provinsi Aceh secara resmi menyampaikan surat kepada dua lembaga Perserikatan Bangsa-Bangsa, UNDP dan UNICEF, untuk meminta dukungan penanganan pascabencana, dengan merujuk pada pengalaman keterlibatan internasional pascatsunami 2004.
Sejumlah bantuan dari negara tetangga seperti Malaysia serta dukungan teknis dari China juga dilaporkan telah masuk dan mulai disalurkan kepada warga terdampak.
Fakta-fakta ini memperlihatkan bahwa bantuan internasional tidak selalu berhenti pada perdebatan status, melainkan dapat mengalir ketika kebutuhan di lapangan sudah nyata dan mekanisme koordinasi dijalankan.
Di ruang publik, muncul pula keluhan dari sebagian diaspora yang merasa kesulitan mengirimkan bantuan dari luar negeri. Keluhan ini perlu ditempatkan secara proporsional.
Dalam tata kelola kebencanaan, pengiriman bantuan lintas negara tidak dapat dilakukan secara sepihak tanpa komunikasi awal.
Koordinasi dengan perwakilan Indonesia di negara setempat, serta pemberitahuan atau rekomendasi kepada otoritas bea cukai dan imigrasi, merupakan bagian dari mekanisme yang dimaksudkan untuk memastikan bantuan dapat masuk secara aman, cepat, dan akuntabel.
Tanpa komunikasi dan clearance tersebut, bantuan berisiko tertahan bukan karena negara menutup pintu, melainkan karena prosedur lintas batas memang mensyaratkan kepastian hukum.
Ketika Status Jadi Penghambat
Masalah muncul ketika status bencana diperlakukan sebagai tombol izin untuk mulai bergerak.
Dalam praktik, status regional atau nasional kerap dijadikan prasyarat politik dan administratif sebelum negara mengerahkan seluruh sumber daya yang tersedia.
Akibatnya, pada jam-jam paling kritis, respons kemanusiaan justru melambat. Di sinilah kekeliruan desain kebijakan terjadi. Fase tanggap darurat bukan ruang administrasi, melainkan ruang kemanusiaan.
Setiap menit penundaan berarti risiko hilangnya nyawa, memburuknya kondisi kesehatan, dan runtuhnya kepercayaan publik. Perdebatan status pada fase ini justru mengalihkan fokus dari kebutuhan mendesak di lapangan.
Status bencana justru sangat relevan pada fase rehabilitasi dan rekonstruksi. Pada tahap inilah status berfungsi sebagai instrumen tata kelola jangka menengah dan panjang: menentukan skala anggaran, model kelembagaan, serta mekanisme akuntabilitas.
Jika dampak bencana berskala nasional, penetapan status nasional pada fase ini dapat diikuti pembentukan badan khusus, sebagaimana Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi Aceh–Nias pascatsunami 2004.
Jika dampaknya berskala daerah, rehabilitasi dan rekonstruksi cukup dilaksanakan oleh pemerintah daerah dengan dukungan pemerintah pusat. Pemisahan fungsi ini penting agar status bencana tidak lagi menjadi alat penundaan, melainkan alat penataan. Kemanusiaan harus berdiri di depan administrasi, bukan sebaliknya.
Bencana akan selalu datang tanpa menunggu kesiapan kita. Yang menentukan adalah apakah negara hadir dengan komando yang jelas, atau tenggelam dalam perdebatan status.
Dalam fase tanggap darurat, yang dibutuhkan bukan status nasional atau regional, melainkan kepemimpinan negara yang bekerja cepat dan tegas atas nama kemanusiaan.
Penulis adalah Peneliti di IDCI - Indonesia Digital And Cyber Institute
Sumber: kompas.com

Tidak ada komentar:
Tulis komentar