Kamis, 06 November 2025

OTT adalah Epitaf Demokrasi yang Busuk

Gubernur Riau Abdul Wahid (tengah). 

Oleh: Firdaus Arifin 


Setiap kali Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menggelar Operasi Tangkap Tangan (OTT), negeri ini kembali tersentak. Seruan moral menggelegar, layar televisi dipenuhi breaking news, media sosial gaduh, dan publik digiring kepada satu kesimpulan getir: demokrasi kita sedang sakit, dan para pemimpin yang dipilih rakyat kembali menodai amanah.


Kali ini drama itu terjadi di Riau. Seorang gubernur kembali dibawa ke gedung antikorupsi. Ironi yang begitu repetitif, seakan menjadi litani gelap negeri ini: pemimpin berganti, modus tetap, moral runtuh.


Rakyat hanya bisa memeluk kecewa. Kita pernah berharap demokrasi melahirkan keadaban. Ternyata yang tumbuh justru kerakusan.


Setiap rompian oranye yang dipakaikan kepada pejabat publik bukan sekadar penanda kejahatan personal, tetapi epitaf demokrasi yang makin membusuk—prasasti atas cita-cita yang dihianati oleh para pengembannya sendiri.


Dua dekade lalu, kita pernah percaya bahwa demokrasi adalah pintu menuju bangsa bermartabat. Reformasi menghadirkan pemilu langsung, otonomi daerah, dan lembaga antikorupsi. Kita merayakannya sebagai babak baru yang penuh harapan.


Namun kini, euforia itu runtuh seperti cat tembok yang terkelupas di gedung tua: di permukaan tampak kokoh, tetapi rapuh di dalam.


Setiap OTT hari ini tidak lagi memunculkan gegap gempita, melainkan kelelahan kolektif. Kita seperti penonton yang dipaksa menonton film lama dengan akhir yang selalu serupa: pejabat ditangkap, uang sitaan dipamerkan, rompi oranye diperlihatkan, lalu drama hukum berlarut-larut hingga publik lupa.


Sementara itu, akar penyakitnya tak pernah dicabut. Demokrasi yang dulu ditopang semangat perubahan, kini terjebak di rawa korupsi yang dalam. Dan kita berdiri di tepi, nyaris tanpa daya.


Kekuasaan yang berkhianat


Kita terlalu sering berharap pada orang yang salah. Para pemimpin datang ke panggung politik dengan narasi pengabdian, tetapi begitu menduduki kursi kekuasaan, mereka berubah menjadi pedagang: membarter jabatan, menjual proyek, merampok kepercayaan.


Inilah wajah banalitas korupsi: kejahatan yang dilakukan bukan dengan kemarahan, tetapi dengan rutinitas. Tidak ada rasa bersalah, hanya kalkulasi keuntungan.


Kekuasaan bukan lagi sarana pengabdian publik, tetapi komoditas yang diperebutkan melalui pilkada mahal, kampanye transaksional, dan jaringan patronase.


Jangan salahkan rakyat; mereka hanya memilih dari daftar nama yang disodorkan. Yang patut dipertanyakan adalah sistem rekrutmen politik—partai yang meloloskan kader bermasalah, elite yang menutup mata atas integritas, dan oligarki uang yang mengatur siapa naik, siapa tenggelam.


Demokrasi berubah menjadi bazar besar kekuasaan. Tiket masuknya bukan gagasan, melainkan modal. Bukan komitmen moral, tetapi koneksi.


Setiap OTT seharusnya menjadi simbol negara bekerja menegakkan hukum. Namun mari jujur: kita semakin meragukan efektivitas penindakan yang bersifat reaktif dan personal.


Korupsi bukan lagi soal individu, tetapi sistem. Kita tidak kekurangan pejabat yang pintar berbicara integritas; kita kekurangan mekanisme yang memastikan integritas itu dijalankan.


KPK hari ini tidak lagi berdiri sekuat dulu. Revisi UU, tarik-menarik kepentingan, dan tekanan politik menjadikan institusi ini seperti prajurit yang dipaksa berperang dengan pedang tumpul.


Setiap keberhasilan OTT justru tampak seperti keajaiban kecil di tengah pembatasan yang melilit.


Negara seperti berperang melawan korupsi dengan satu tangan terikat ke belakang. Sementara para pencuri bersenjata jaringan kekuasaan, konsultan hukum yang lihai, dan celah regulasi yang tak henti ditemukan.


Korupsi bukan sejarah hukum tinggi yang hanya dipahami akademisi dan politisi. Ia tragedi keseharian rakyat.


Setiap rupiah yang dicuri adalah makan siang anak sekolah yang hilang, puskesmas yang tak kunjung dibangun, jalan desa yang tetap berlubang, pupuk yang tak sampai ke petani, nelayan yang terus melawan angin dengan perahu tua.


Ketika korupsi merajalela, yang menderita adalah mereka yang tak punya suara. Demokrasi dijanjikan untuk rakyat, tetapi praktiknya hanya menguntungkan lingkar kecil kekuasaan.


Nyala yang tak padam


Namun, kemarahan dan kelelahan tidak boleh membuat kita menyerah. Di balik setiap rompi oranye yang disorot kamera, tersisa sesuatu yang lebih dalam daripada sekadar rasa malu nasional: ada bara kecil yang masih menyala.


Ia mungkin redup, tertiup angin politik yang ganas, tetapi tidak pernah benar-benar padam. Harapan itu hidup pada petugas KPK yang bekerja dalam sunyi, menahan tekanan, menjaga integritas ketika jalan yang lebih mudah adalah tunduk.


Harapan itu bernafas dalam diri segelintir birokrat daerah yang memilih pulang dengan gaji bersih daripada amplop tebal.


Ia tumbuh dalam ruang-ruang kelas sederhana, ketika seorang guru mengajarkan bahwa kejujuran bukan slogan, melainkan martabat manusia.


Ia berdiri di tengah jalan ketika mahasiswa menolak diam, ketika jurnalis tetap menulis meski ancaman mengintai, ketika warga memilih tanpa amplop.


Perubahan hari ini mungkin kecil—seperti lilin di tengah badai—tetapi sejarah sering bergerak dari suara-suara kecil yang tak menyerah. Bangsa-bangsa besar bukan dibangun oleh kesempurnaan, melainkan oleh keberanian untuk bangkit tiap kali jatuh.


Setiap OTT adalah epitaf: prasasti untuk demokrasi yang sedang busuk. Tapi epitaf bukan akhir; ia adalah peringatan. Kita sedang berada di persimpangan sejarah.


Apakah kita membiarkan negeri ini menjadi republik rompi oranye, atau kita membangun kembali fondasi moralnya?


Reformasi tidak boleh berhenti pada pergantian pemimpin; ia harus menyentuh kesadaran: kekuasaan adalah amanah, bukan kesempatan mencuri. Demokrasi bukan sekadar memilih, tetapi merawat keadilan, transparansi, dan integritas.


Jika kita menyerah, korupsi menjadi agama baru. Jika kita bertahan, generasi berikutnya mungkin membaca OTT bukan sebagai rutinitas, tetapi catatan sejarah.


Hari ini kita berduka. Tapi berkabunglah dengan kesadaran, bukan kepasrahan. Demokrasi tidak mati; ia menunggu kita menyelamatkannya.


Penulis adalah Dosen Fakultas Hukum Universitas Pasundan & Sekretaris APHTN HAN Jawa Barat


Sumber: kompas.com

Show comments
Hide comments
Tidak ada komentar:
Tulis komentar

Berita Terbaru

Back to Top