Minggu, 19 Oktober 2025

Timothy dan Alarm “Bully” yang Tak Pernah Dimatikan

Ilustrasi Stop Bullying. 

Oleh: Jannus TH Siahaan


Alarm perundungan (bullying) kembali meraung keras. Pada 15 Oktober 2025, kampus Universitas Udayana (Unud) di Bali diguncang kabar duka setelah Timothy Anugerah Saputra, mahasiswa semester VII Jurusan Sosiologi di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP), ditemukan meninggal dunia.


Ia diduga mengakhiri hidupnya dengan melompat dari lantai empat gedung FISIP setelah mengalami tekanan sosial yang berat dari lingkungan pergaulannya. Kasus ini segera viral di media sosial karena kuatnya dugaan bahwa Timothy menjadi korban perundungan yang dilakukan oleh teman-temannya sendiri.


Gen Z yang lahir di Bandung pada 25 Agustus 2003, sesungguhnya dikenal sebagai sosok yang ramah, santun, dan berprestasi. Namun, di balik senyumnya, ternyata ia menyimpan luka yang dalam akibat ejekan bertubi-tubi yang berlangsung terus-menerus.


Tragedi ini bukan hanya tentang satu nyawa yang hilang, tetapi juga peringatan keras akan pentingnya menciptakan lingkungan kampus (juga sekolah) yang aman, empatik, dan bebas dari kekerasan psikologis.


Di tengah maraknya kampanye pendidikan karakter, literasi digital, dan penguatan kesehatan mental, tragedi ini seolah menampar wajah negara, seberapa serius kita sebenarnya dalam memahami, mencegah, dan menindak perundungan yang nyata-nyata sudah merupakan ancaman bagi generasi muda.


Seminar-seminar anti-bullying yang gencar digelar di sekolah dan kampus seakan tak pernah benar-benar menyentuh akar masalah. Para pelaku perundungan toh masih merasa aman karena tahu bahwa konsekuensi terburuk hanyalah permintaan maaf yang dibacakan setelah segalanya terlambat.


Mirip yang dipertontonkan oleh para kriminal dan badut politik yang semakin sering jadi berita di layar gawai dan televisi.


Seolah semua selesai dengan sebaris penyesalan, tanpa pernah terlintas dalam benak mereka bahwa luka yang ditinggalkan pada korban akan menetap seumur hidup, membekas dalam bentuk trauma psikologis yang sulit disembuhkan, bahkan dalam kasus-kasus tertentu berujung pada hilangnya nyawa.


Yang lebih menyedihkan, masyarakat kita masih sering gagal memahami dinamika psikologis yang dialami korban.


Alih-alih memberikan empati, tidak sedikit yang justru menyalahkan mereka, mengapa tidak melawan, mengapa tidak melapor, atau bahkan dalam kasus kekerasan seksual, menyalahkan pakaian korban.


Cara pandang seperti ini tidak hanya keliru, tetapi juga berbahaya karena memperparah rasa bersalah dan keterasingan yang dirasakan korban.


Dalam ilmu psikologi, respons terhadap tekanan ekstrem tidak selalu berbentuk perlawanan.


Setidaknya ada tiga reaksi umum yang dikenal, freeze ketika tubuh dan pikiran membeku tidak mampu bereaksi, flight ketika korban memilih menghindar untuk menyelamatkan diri, dan fight ketika ia berusaha melawan.


Tiga respons ini bersifat alamiah dan berada di luar kendali kesadaran penuh. Artinya, tidak setiap korban memiliki kapasitas atau keberanian untuk melawan, dan kegagalannya bertahan bukanlah bukti kelemahan, melainkan refleksi dari tekanan psikologis yang terlalu berat untuk ditanggung sendirian.


Di balik setiap tragedi perundungan yang berujung fatal, selalu ada satu pola berulang, negara hadir terlalu terlambat atau bahkan sama sekali tidak hadir.


Sekolah, sebagai lingkungan pertama tempat anak belajar tentang nilai dan empati, sering kali justru menjadi ruang yang membiarkan kekerasan psikologis tumbuh subur.


Laporan korban kerap diabaikan, pelaku dilindungi atas nama baik institusi, dan penyelesaian kasus kerap berakhir dengan damai yang sejatinya tidak pernah menyembuhkan luka.


Aparat penegak hukum pun tidak jarang memandang enteng perundungan, kecuali jika sudah viral atau menelan korban jiwa.


Di balik semua ini, terdapat relasi kuasa yang timpang, pelaku kerap berasal dari keluarga pejabat, pengusaha, atau tokoh berpengaruh, sehingga kasusnya diredam demi reputasi.


Hasilnya, pesan yang tertanam di benak pelaku sangat jelas, mereka bisa lolos dari konsekuensi. Dan pesan itu pula yang membuat siklus perundungan terus berulang dari generasi ke generasi.


Perdebatan tentang kriminalisasi bullying sesungguhnya hanya satu sisi dari persoalan yang jauh lebih kompleks.


Emma Jones dalam Should Bullying Be a Crime? (2020) menunjukkan bahwa pertanyaan tersebut tidak semata-mata menyangkut bentuk sanksi yang pantas, melainkan juga bagaimana masyarakat mengakui beratnya konsekuensi sosial dan psikologis yang ditimbulkan.


Bullying bukan sekadar pelanggaran etika, melainkan kekerasan psikososial yang dapat mengikis martabat, menghancurkan kepercayaan diri, dan bahkan merenggut nyawa.


Namun, sebagaimana diingatkan Jones, hukum pidana tidak selalu menjadi obat mujarab. Sanksi yang terlalu cepat dijatuhkan tanpa mekanisme pemulihan dapat menciptakan residivisme atau malah menutup peluang rehabilitasi.


Oleh karena itu, pendekatan yang seimbang menuntut kombinasi antara ketegasan hukum bagi tindakan ekstrem dan strategi pencegahan serta pendidikan empati untuk kasus yang bersifat sosial dan struktural.


Filsafat ini mengajarkan bahwa kendali terbesar bukan pada tindakan orang lain, tetapi pada bagaimana kita memilih untuk meresponsnya.


Dalam konteks perundungan, prinsip dichotomy of control menuntun korban untuk membedakan antara hal-hal yang dapat dan tidak dapat dikendalikan.


Dengan demikian, penderitaan yang dialami tidak berubah menjadi kehancuran total atas harga diri.


Stoisisme mengajak korban untuk membangun kembali batas-batas dirinya yang telah dilanggar, memulihkan sense of agency (perasaan bahwa diri kita memiliki kendali atas tindakan kita sendiri dan dampaknya atas dunia di sekitar kita) yang dirampas oleh pelaku, serta mengelola emosi tanpa kehilangan kemanusiaan.


Pendekatan ini bukan tentang menerima ketidakadilan, melainkan tentang merebut kembali kendali atas makna hidup dari tangan mereka yang berusaha merampasnya.


Lebih jauh lagi, gabungan kedua perspektif tersebut menegaskan bahwa solusi terhadap bullying harus bersifat dua jalur, eksternal dan internal.


Di satu sisi, negara perlu membangun kerangka hukum yang tegas untuk memastikan pelaku tidak berlindung di balik permintaan maaf dangkal atau sistem yang permisif.


Di sisi lain, masyarakat dan individu harus membekali diri dengan daya tahan psikologis dan kekuatan moral untuk menghadapi realitas yang tidak selalu adil itu.


Seperti yang ditegaskan filsuf dan Kaisar Romawi Marcus Aurelius dalam Meditations (antara 170–180 M), balas dendam terbaik adalah tidak menjadi seperti mereka yang menyakitimu.


Anjuran untuk membalas perbuatan buruk dengan perbuatan baik bukan dengan balasan serupa agar setiap kita tidak mengulangi kesalahan yang sama.


Gagasan Marcus Aurelius itu juga mengingatkan kita bahwa keadilan sejati bukan hanya tentang menghukum pelaku, tetapi juga tentang menolak menjadi korban seumur hidup.


Dalam dunia yang masih gagal memberi perlindungan penuh, perpaduan antara kejelasan hukum dan kebijaksanaan Stoik menawarkan jalan keluar yang lebih utuh, menghukum yang bersalah, menyembuhkan yang terluka, dan memberdayakan mereka yang pernah dijatuhkan.


Kebutuhan akan pendekatan semacam itu menjadi semakin mendesak ketika kita melihat kenyataan di lapangan.


Peningkatan kasus perundungan di Indonesia dalam beberapa tahun terakhir, menunjukkan bahwa fenomena ini bukan lagi insiden sosial yang bersifat individual, melainkan masalah struktural yang mengakar dalam ekosistem pendidikan dan kehidupan anak.


Data dari KemenPPPA melalui SIMFONI-PPA mencatat hingga 2025 telah terjadi 25.395 kasus kekerasan, termasuk perundungan, dengan mayoritas korban adalah perempuan.


Sekolah yang seharusnya menjadi ruang aman justru menjadi salah satu lokasi kejadian tertinggi selain rumah tangga dan fasilitas umum.


Bentuk kekerasan yang paling banyak terjadi adalah psikis, diikuti fisik dan seksual, menandakan bahwa luka yang ditimbulkan tidak selalu kasat mata, tapi tetap berpotensi menghancurkan keutuhan mental korban.


Data KPAI memperkuat gambaran kelam tersebut. Pada 2023 tercatat 1.478 kasus bullying secara nasional, meningkat tajam dari hanya 266 kasus pada 2022.


Data KPAI memperkuat gambaran kelam tersebut. Pada 2023 tercatat 1.478 kasus bullying secara nasional, meningkat tajam dari hanya 266 kasus pada 2022.


Bahkan, laporan lain menunjukkan sekitar 3.800 kasus perundungan terjadi sepanjang tahun, hampir separuhnya di lingkungan pendidikan, yang mengindikasikan bahwa sekolah belum berfungsi sebagai pelindung yang efektif bagi anak-anak.


Lonjakan yang sama terlihat dalam laporan lembaga Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI), koalisi masyarakat sipil yang fokus memantau, mengawasi, dan mengadvokasi kebijakan pendidikan nasional, termasuk isu perlindungan anak dan kekerasan di sekolah.


Lembaga independen ini mencatat adanya 573 kasus kekerasan di lingkungan pendidikan pada 2024, lebih dari dua kali lipat dibandingkan tahun sebelumnya, dengan 31 persen di antaranya terkait langsung dengan perundungan.


Jika ditarik ke belakang, tren ini menunjukkan eskalasi konsisten sejak 2020 yang hanya mencatat 91 kasus. Tak hanya terjadi di ruang fisik, bullying juga berpindah ke ranah digital.


Jajak pendapat UNICEF melalui U-Report menunjukkan 45 persen anak muda usia 14–24 tahun pernah menjadi korban cyberbullying, terutama melalui pelecehan dalam percakapan daring dan penyebaran konten pribadi tanpa izin.


Angka-angka ini hampir pasti belum mencerminkan situasi sebenarnya karena banyak kasus yang tidak dilaporkan akibat rasa takut, malu, atau tidak percaya pada mekanisme pelaporan.


Fakta-fakta ini menegaskan bahwa Indonesia tengah menghadapi krisis sosial yang meluas. Perundungan telah menjadi epidemi tersembunyi yang merusak generasi sejak usia dini.


Tanpa intervensi struktural menyeluruh, angka-angka ini hanya akan terus meningkat dari tahun ke tahun.


Jika hal itu terus dibiarkan, maka kekhawatiran akan terjadinya Indonesia cemas sesungguhnya punya pembenaran yang kuat.


Kenaikan kasus yang konsisten itu tidak bisa dilepaskan dari cara perundungan beroperasi dalam dinamika sosial anak dan remaja.


Charles A. Maher dkk. dalam Bullying, Victimization, and Peer Harassment (2021) menjelaskan bahwa perilaku bullying kerap memperoleh legitimasi sosial karena berlangsung dalam kelompok sebaya, di mana pelaku mendapat penguatan, baik melalui tawa, sorakan, maupun diamnya para penonton.


Situasi ini membuat perundungan bukan sekadar interaksi dua individu, melainkan fenomena ekosistem yang dipelihara oleh lingkungan sosial yang permisif.


Selama para saksi memilih diam atau enggan melawan arus, pelaku akan terus merasa aman, bahkan merasa dianggap hebat karena dominasinya.


Inilah sebab utama mengapa angka perundungan terus meningkat dari tahun ke tahun, bukan hanya karena ada pelaku yang berniat menyakiti, melainkan karena ada struktur sosial yang memberi ruang, dukungan, bahkan tepuk tangan bagi tindakannya.


Kathleen Conn dalam Bullying and Harassment: A Legal Guide for Educators (2004) menegaskan bahwa penanganan perundungan tidak lagi dapat ditempatkan semata sebagai persoalan moral, melainkan harus dipahami sebagai isu hukum dan hak asasi yang menuntut tanggung jawab negara.


Pandangan ini menegaskan perlunya langkah-langkah sistematis yang mampu mengikat seluruh elemen pendidikan agar tidak berhenti pada wacana atau imbauan.


Pertama, dari sisi hukum, prinsip-prinsip yang terkandung dalam berbagai regulasi pendidikan dan perlindungan anak di Indonesia sejatinya sejalan dengan perangkat hukum di negara lain.


Misalnya, Section 1983 dan Title IX di Amerika Serikat yang menegaskan kewajiban negara dan institusi pendidikan untuk menjamin hak anak atas perlindungan dan keselamatan.


Kewajiban ini tidak bersifat opsional, sebab kelalaian dalam memenuhinya dapat menciptakan ruang impunitas dan memperpanjang siklus kekerasan di lingkungan pendidikan.


Sekolah tidak hanya memiliki kewajiban etis, tetapi juga kewajiban hukum untuk mencegah, merespons, dan menindak perundungan.


Kelalaian dalam menjalankan kewajiban tersebut dapat dipandang sebagai bentuk pelanggaran terhadap hak-hak peserta didik dan menciptakan ruang impunitas bagi pelaku.


Kedua, pentingnya pencegahan harus menjadi prioritas dalam membentuk budaya hukum di lingkungan pendidikan. Sekolah perlu mampu membedakan antara perilaku sosial yang wajar dan tindakan yang telah melampaui batas menjadi kekerasan psikis atau fisik.


Pendidikan literasi hukum, pelatihan bagi pendidik, serta integrasi kurikulum yang menanamkan empati adalah elemen penting dalam membangun ruang belajar yang menolak segala bentuk kekerasan simbolik.


Selain itu, institusi pendidikan harus menginternalisasi prinsip bahwa kebebasan berekspresi tidak mencakup ujaran kebencian, ancaman, atau pelecehan, kesadaran yang kerap menjadi celah pembenaran bagi perilaku perundungan.


Ketiga, penanganan harus diarahkan pada perlindungan efektif bagi korban sekaligus intervensi yang tepat bagi pelaku.


Korban berhak atas akses pelaporan yang aman, pemulihan psikologis, dan jalur keadilan yang layak.


Sementara pelaku perlu mendapatkan intervensi rehabilitatif agar perilakunya tidak berkembang menjadi kekerasan yang lebih berat di masa depan.


Dalam kerangka ini, hukum tidak hanya berfungsi sebagai alat penghukuman, tetapi juga sebagai mekanisme preventif dan korektif.


Pendekatan yang menyatukan aspek hukum, pencegahan melalui pendidikan, dan penanganan komprehensif menjadi fondasi agar kebijakan anti-bullying tidak berhenti sebagai simbolik, melainkan mampu menyentuh akar struktural dari persoalan yang selama ini diabaikan.


Selama kebijakan anti-bullying berhenti pada teks hukum yang kabur dan tidak disertai mekanisme pelaksanaan yang tegas, sekolah akan terus menjadi ruang kekerasan yang dilegitimasi oleh kelalaian negara.


Kegagalan terbesar sistem pendidikan kita bukan terletak pada kualitas undang-undang saja, melainkan juga pada kompromi birokratis yang membiarkan aturan tanpa pengawasan dan kewajiban tanpa sanksi.


Banyak regulasi dirumuskan tanpa definisi yang operasional, tanpa prosedur pelaporan yang wajib, tanpa perlindungan nyata bagi korban, dan tanpa konsekuensi hukum bagi pihak yang lalai.


Dalam kondisi seperti ini akar persoalan terus tumbuh dan menjadi bagian dari struktur pendidikan itu sendiri.


Selama sekolah atau universitas tidak diwajibkan untuk mendokumentasikan setiap kasus, selama pelanggaran administratif tidak memiliki harga hukum, maka setiap tragedi akan terus berulang.


Tidak ada alasan yang dapat membenarkan kematian akibat perundungan. Hukum harus memiliki peran untuk menghentikannya sebelum terjadi.


Selama aturan hanya hidup setelah korban meninggal, negara sedang membiarkan kekerasan berlangsung melalui kelalaiannya.


Karena yang dibutuhkan segera adalah sistem yang bekerja secara nyata. Regulasi harus jelas dan memiliki kekuatan mengikat.


Kewajiban negara dan institusi pendidikan untuk mencegah, merespons, dan menindak setiap bentuk perundungan tidak boleh lagi diperlakukan sebagai pilihan.


Tanggung jawab itu harus dijalankan tanpa ruang untuk ditunda apalagi dihindari. Setiap kelalaian dalam melindungi peserta didik harus berujung pada sanksi agar tidak ada lagi pelaku maupun institusi yang bersembunyi di balik permintaan maaf.


Jika negara lelet dan lamban, pendidikan kita akan terus menjadi tempat yang menanamkan rasa takut, alih-alih pengetahuan.


Jika sampai itu terjadi, maka negara justru merupakan aktor utama yang menyebabkan masa depan anak-anak akan berhenti, bahkan sebelum mereka memiliki kesempatan untuk tumbuh. 


Penulis adalah Doktor Sosiologi dari Universitas Padjadjaran, Pengamat sosial dan kebijakan public, pernah berprofesi sebagai Wartawan dan bekerja di industri pertambangan.

Show comments
Hide comments
Tidak ada komentar:
Tulis komentar

Berita Terbaru

Back to Top