Rabu, 29 Oktober 2025

Sumpah Pemuda dan Arah Politik Orang Muda

Ilustrasi Sumpah Pemuda

Oleh: Muhammad Iqbal Kholidin


Setiap kali tanggal 28 Oktober datang, bangsa ini kembali membaca ulang teks Sumpah Pemuda. Sebuah pernyataan sederhana yang lahir dari kegelisahan orang muda hampir seabad lalu.


Mereka tidak memiliki kekuasaan, tidak memegang jabatan, tetapi berani melampaui batas zaman untuk menyatukan bangsa yang tercerai-berai. Sumpah Pemuda adalah peristiwa politik yang lahir dari imajinasi kolektif generasi muda.


Sebuah keyakinan bahwa masa depan negeri ini hanya bisa dibangun dengan tekad bersama, persatuan, dan keberanian menolak kemapanan yang menindas.


Kini, hampir seratus tahun setelah sumpah itu diikrarkan, orang muda kembali dihadapkan pada tantangan politik yang berbeda tetapi berakar pada persoalan yang sama: ketimpangan kekuasaan.


Jika dulu mereka melawan penjajahan fisik, hari ini orang muda berhadapan dengan penjajahan politik. Bentuknya bukan lagi rantai dan senjata, tetapi sistem yang menutup ruang partisipasi, partai yang tak kunjung berbenah, dan elite yang memonopoli kekuasaan atas nama rakyat.


Dalam setiap momentum pemilu, orang muda selalu menjadi komoditas politik. Menjelang Pemilu 2024 misalnya, hampir semua calon kepala negara, kepala daerah, dan calon legislatif berlomba memoles diri dengan citra “muda”.


Mereka menyebut diri berjiwa muda, berpihak pada orang muda, hingga menebar slogan yang memuja kemudaan.


Di baliho dan media sosial, kata “muda” muncul di mana-mana: Muda Membangun, Muda Peduli, Saatnya yang Muda Memimpin. Namun begitu pemilu usai, orang muda kembali dilupakan. Dalam proses perumusan kebijakan dan pengambilan keputusan, suara mereka jarang didengar.


Mereka hanya dibutuhkan pada musim kampanye, bukan dalam ruang kekuasaan yang sesungguhnya. Padahal, secara demografis, posisi orang muda sangat strategis.


Data Badan Pusat Statistik (2020) menunjukkan bahwa penduduk usia 16–30 tahun berjumlah sekitar 64,5 juta jiwa, atau 23,8 persen dari total penduduk Indonesia.


Sedangkan menurut KPU, pemilih muda berusia 17–40 tahun mencapai lebih dari 52 persen dari total daftar pemilih tetap Pemilu 2024. Secara jumlah, mereka adalah mayoritas politik bangsa ini.


Namun secara politik, mayoritas itu tidak berdaya. Jumlah besar orang muda tidak otomatis berbanding lurus dengan kekuatan politik mereka. Mereka menjadi subjek yang dijadikan objek, disapa dengan jargon, tetapi jarang diajak bicara dalam perumusan kebijakan.


Para politisi berpose seperti orang muda, berbicara dengan gaya akrab, bahkan menggandeng influencer untuk menarik simpati generasi Z. Tetapi di balik semua itu, cara berpolitik mereka tetap lama: hierarkis, transaksional, dan tertutup bagi perubahan.


Dalam pandangan semiotika Roland Barthes, mitos bekerja dengan cara mencuri bahasa. Ia mengambil tanda yang netral lalu mengisinya dengan makna ideologis tertentu.


Dalam konteks politik, kata “muda” telah berubah menjadi mitos baru. Semestinya “muda” berarti energi, keberanian, dan pembaruan. Namun dalam praktik politik, makna itu dipinjam untuk menutupi wajah lama kekuasaan.


“Muda” dijadikan kosmetik politik yang berfungsi sebagai hiasan, bukan gagasan. Akibatnya, politik kehilangan substansi. Muda bukan lagi soal nilai, melainkan soal citra.


Para politisi menampilkan diri seolah-olah mewakili generasi baru, tetapi tetap menjalankan cara lama: citra diri lebih penting daripada ide, loyalitas lebih diutamakan daripada kapasitas, dan uang tetap menjadi syarat utama untuk bisa bersaing.


Fenomena ini memperlihatkan betapa sistem politik kita gagal menyediakan ruang regenerasi.


Partai politik tidak menjalankan fungsi kaderisasi dengan baik. Dalam banyak kasus, rekrutmen politik masih didasarkan pada kedekatan, bukan kapasitas.


Calon legislatif ditentukan bukan karena gagasan dan kerja, tetapi karena kemampuan finansial dan relasi dengan elite partai.


Akibatnya, orang muda yang kompeten sering kali kalah sebelum bertanding. Mereka yang berintegritas tersingkir karena tidak memiliki modal besar atau dukungan dari lingkaran dalam partai.


Padahal, kehadiran orang muda dalam politik bukan sekadar soal usia. Mereka membawa cara pandang baru terhadap perubahan sosial, teknologi, keadilan lingkungan, kesetaraan gender, dan hak-hak minoritas.


Politik orang muda seharusnya tidak hanya hadir sebagai simbol representasi, tetapi sebagai kekuatan moral dan intelektual yang menyehatkan sistem politik.


Mereka dibutuhkan untuk memulihkan akal sehat dalam politik yang kini terjebak pada ritual elektoral lima tahunan.


Namun untuk itu, sistemnya harus dibenahi. Sistem pemilu yang mahal dan personalistik membuat politik menjadi ruang tertutup.


Model proporsional terbuka memang memberi kesempatan bagi pemilih untuk memilih calon, tetapi juga memunculkan kompetisi brutal antarcalon dalam satu partai.


Biaya kampanye yang tinggi membuat politik hanya bisa diakses oleh mereka yang punya sumber daya besar. Orang muda dengan gagasan kuat tetapi tanpa modal besar akan sulit bertahan.


Karena itu, reformasi sistem pemilu dan partai politik menjadi kebutuhan mendesak. Negara perlu memastikan mekanisme pencalonan dan pendanaan politik yang transparan, akuntabel, dan inklusif.


Model sistem campuran atau daftar terbuka terbatas bisa menjadi alternatif agar keseimbangan antara representasi partai dan individu terjaga. Lebih dari itu, partai politik harus menjalankan fungsi kaderisasi dengan serius.


Partai tidak boleh hanya menjadi kendaraan pemilu, tetapi juga sekolah politik yang melahirkan pemimpin muda yang berintegritas dan berpikir strategis. Sayangnya, sebagian besar partai masih terjebak dalam pola lama.


Regenerasi diperlambat karena ada ketakutan kehilangan kendali atas kekuasaan. Padahal, tanpa orang muda, partai kehilangan masa depan. Tanpa regenerasi, demokrasi kehilangan dinamika.


Dan tanpa perbaikan sistem, orang muda yang potensial akan terus mencari jalan di luar politik formal, melalui gerakan sosial, komunitas, atau inisiatif digital. Kita bisa belajar dari semangat Sumpah Pemuda.


Para pemuda tahun 1928 tidak menunggu izin dari kekuasaan untuk bersatu. Mereka menciptakan ruang sendiri dan melampaui sekat agama, suku, dan organisasi. Itulah politik sejati: politik yang digerakkan oleh visi, bukan ambisi.


Semangat ini perlu dihidupkan kembali. Orang muda harus berani mengambil risiko untuk masuk ke dunia politik, bukan untuk menjadi bagian dari sistem lama, tetapi untuk mengubahnya dari dalam.


Menjadi orang muda dalam politik hari ini berarti berani berpikir jernih di tengah kebisingan, berani menjaga integritas di tengah pragmatisme, dan berani bekerja untuk kepentingan publik, bukan kepentingan elite.


Politik orang muda tidak boleh berhenti pada slogan. Ia harus menjadi gerakan yang menata ulang hubungan antara rakyat dan kekuasaan. Politik yang memperjuangkan keadilan sosial, bukan hanya kemenangan elektoral.


Politik yang menjadikan Pancasila sebagai pedoman moral, bukan sekadar ornamen pidato. Momentum Sumpah Pemuda seharusnya menjadi waktu refleksi nasional untuk menilai kembali arah demokrasi kita.


Apakah politik masih berpihak kepada rakyat atau hanya menjadi alat reproduksi kekuasaan? Apakah partai masih menjadi ruang pendidikan politik atau sekadar mesin perebutan jabatan? Dan apakah orang muda hanya akan terus menjadi slogan di baliho, atau sungguh menjadi subjek perubahan?


Carut-marut demokrasi hari ini bukan karena rakyat tidak peduli, tetapi karena sistemnya gagal memberi ruang bagi mereka yang ingin peduli. Orang muda tidak kehilangan idealisme, tetapi kehilangan saluran untuk menyalurkannya. Jika hal ini terus dibiarkan, republik ini akan kehilangan daya pembaruannya.


Sumpah Pemuda 1928 adalah penegasan bahwa masa depan bangsa tidak boleh disandera oleh struktur lama. Kini, generasi muda perlu kembali bersumpah, bukan hanya untuk bersatu dalam bahasa dan tanah air, tetapi juga dalam tekad memperbaiki sistem politik agar lebih terbuka, adil, dan bermartabat.


Tanpa pembaruan politik, cita-cita tentang keadilan dan kesejahteraan hanya akan menjadi mitos baru, tentang bangsa yang masih muda, tetapi memilih untuk gagal tumbuh dewasa secara politik.


Penulis adalah Peneliti Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem)


Sumber: kompas.com

Show comments
Hide comments
Tidak ada komentar:
Tulis komentar

Berita Terbaru

Back to Top