Jumat, 24 Oktober 2025

Purbaya, Perisai Politik Kabinet Gemuk Prabowo

Menteri Keuangan, Purbaya Yudhi Sadewa

Oleh: Mohammad Aliman Shahmi 


Penunjukan Purbaya Yudhi Sadewa sebagai Menteri Keuangan di awal pemerintahan Prabowo Subianto adalah langkah komunikasi politik yang brilian.


Di tengah kekhawatiran publik dan pasar atas janji kampanye berbiaya raksasa seperti program makan bergizi gratis, kehadirannya ibarat jangkar yang dilempar ke kapal yang oleng.


Pasar seketika tenang, investor asing menahan napas, dan kelompok kelas menengah terdidik untuk sementara diyakinkan bahwa ada "orang dewasa" di dalam ruangan yang akan menjaga akal sehat anggaran negara.


Namun, ketenangan ini menipu. Kredibilitas teknokratis Purbaya yang solid tidak sedang digunakan untuk membangun fondasi ekonomi baru yang kokoh.


Sebaliknya, ia sedang difungsikan sebagai "bumper" mewah—peredam kejut yang dipasang di bagian depan mesin politik yang rapuh secara struktural.


Purbaya adalah fasad profesional yang esensial untuk menutupi realitas pemerintahan yang sebenarnya: kabinet "gemuk" yang dirancang bukan untuk efisiensi, melainkan untuk akomodasi dan kelangsungan hidup politik koalisi.


Paradoks sistem: "Strongman" di pucuk, rapuh di struktur Muncul paradoks fundamental di jantung pemerintahan ini.


Di satu sisi, Presiden Prabowo memproyeksikan citra kepemimpinan "strongman" yang diwarnai latar belakang militer: tegas, komando dari atas ke bawah, dan menuntut loyalitas absolut. Ini adalah gaya yang memberi ilusi kekuatan dan kontrol penuh.


Namun di sisi lain, "sistem" yang ia bangun adalah antitesis dari kekuatan itu. Pembentukan "Kabinet Merah Putih" adalah yang terbesar dalam sejarah pasca-reformasi, langkah yang oleh para analis seperti BRIN dan ICW diterjemahkan sebagai "politik akomodasi" atau "bagi-bagi kue".


Kabinet raksasa ini—dengan 48 kementerian—tidak dirancang untuk bekerja lincah. Kabinet dirancang untuk memuaskan semua mitra koalisi demi mengamankan stabilitas politik di legislatif.


Konsekuensi yang tak terhindarkan dari struktur seperti ini adalah inefisiensi. Rentan terhadap perang ego sektoral, tumpang tindih kebijakan, dan kelambanan birokrasi.


Dalam sistem seperti ini, tujuan utamanya bukanlah efektivitas kebijakan, melainkan keharmonisan koalisi.


Di sinilah letak masalahnya. Sistem yang lemah secara struktural ini—yang penuh dengan kepentingan partai—secara inheren membutuhkan figur peredam kejut.


Ketika keputusan sulit harus diambil, logika sistem akan memprioritaskan perlindungan terhadap koalisi, bukan pencapaian teknokratis.


Dan pemerintahan ini akan menghadapi keputusan sulit. Benturan antara janji populis dan realitas fiskal tidak terhindarkan.


Program makan bergizi gratis menuntut anggaran luar biasa besar. Pada saat yang sama, Purbaya ditugaskan menjaga disiplin fiskal dan kesehatan APBN.


Jurang antara dua tujuan ini hanya bisa dijembatani oleh kebijakan yang menyakitkan: pemotongan subsidi besar-besaran, realokasi anggaran yang drastis antar-kementerian, atau peningkatan pajak.


Pertanyaannya, siapa yang akan menanggung kemarahan publik dari kebijakan tersebut? Partai-partai koalisi yang baru saja menikmati kue kekuasaan tentu tidak bersedia.


Mereka perlu "tameng" atau "penangkal petir" untuk menyerap dampak politik negatif.


Masuklah Purbaya. Ia adalah kandidat sempurna untuk peran bumper ini. Ia seorang teknokrat klasik: profesional, berpendidikan tinggi (PhD dari Purdue), dan diakui pasar.


Namun, ia terisolasi secara politik. Ia tidak memiliki basis partai. Kekuatan dan pengaruhnya nyaris secara eksklusif berasal dari keahliannya dan hubungan langsungnya dengan Presiden ("RI 1").


Keterisolasian institusional inilah yang menjadi kerentanan utamanya. Personanya yang blak-blakan dan efektif, yang dijuluki "koboi", justru membuatnya menjadi target yang lebih ideal.


Publik dan media akan secara langsung mengasosiasikan kebijakan yang menyakitkan itu dengan figur Purbaya pribadi, bukan dengan partai-partai politik yang bersembunyi aman di belakangnya. Kita pernah melihat naskah ini diputar sebelumnya.


Karier Sri Mulyani Indrawati adalah studi kasus sempurna tentang bagaimana seorang teknokrat yang dihormati secara internasional dapat diubah menjadi perisai politik di dalam negeri.


Ia berjasa memandu Indonesia melewati krisis, tapi ia berulang kali menjadi sasaran serangan politik intens atas kebijakan yang tidak populer seperti perpajakan atau dana talangan.


Ia secara efektif berfungsi sebagai tameng bagi pemerintah, menyerap kemarahan dan melindungi elite politik dari konsekuensi.


Skenario Purbaya sangat mungkin menjadi pengulangan dari sejarah ini, bahkan mungkin lebih berat. Ia akan menjadi wajah publik dari setiap pemotongan anggaran dan realokasi yang menyakitkan.


Persona "koboi"-nya, yang awalnya dipuji, akan dengan mudah dibingkai ulang sebagai "arogan" atau "tidak pro-rakyat" begitu kebijakan pahit mulai diterapkan.


Inilah mengapa efek Purbaya bisa saja hanya sementara. Ketenangan yang ia ciptakan adalah ketenangan yang dipinjam, yang dibeli dengan waktu. Pada akhirnya, "angka tidak berbohong".


Realitas APBN akan terkuak. Publik tidak menilai pemerintahan dari seberapa pandai menterinya menenangkan pasar; mereka menilai dari harga bahan pokok, ketersediaan lapangan kerja, dan kualitas layanan publik.


Kredibilitas satu orang, betapapun hebatnya, tidak dapat menopang seluruh struktur pemerintahan yang rapuh.


Tugas publik adalah melihat melampaui fasad sang bumper dan mengawasi dengan kritis mesin politik yang sebenarnya bekerja di belakangnya.


Penulis adalah Dosen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam UIN Mahmud Yunus Batusangkar.

Show comments
Hide comments
Tidak ada komentar:
Tulis komentar

Berita Terbaru

Back to Top