![]() |
| Ilustrasi Rumah Sakit. |
Oleh: Puspita Wijayanti
KETIKA pemerintah membuka keran investasi rumah sakit asing di Indonesia, banyak yang menyambutnya sebagai angin segar. Alasannya masuk akal, warga Indonesia menghabiskan lebih dari Rp 165 triliun per tahun untuk berobat ke luar negeri, dari Penang hingga Tokyo.
Jika rumah sakit bertaraf internasional bisa hadir di dalam negeri, bukankah itu langkah efisien?
Masalahnya, sistem kesehatan bukan pasar biasa. Ketika kita membuka wilayah pelayanan medis untuk kepentingan korporasi asing, kita tidak hanya bicara tentang bangunan fisik atau teknologi modern, tetapi tentang kedaulatan, keadilan, dan keberlanjutan sistem kesehatan nasional.
Menurut teori market failure dalam ekonomi kesehatan dari Arrow, sistem layanan medis bersifat unik. Pasar bebas tidak otomatis menghasilkan efisiensi dan keadilan.
Pasien bukan konsumen biasa; mereka sering tidak tahu apa yang mereka butuhkan, tidak punya waktu membandingkan harga, dan dalam banyak kasus, tidak bisa memilih.
Di sisi lain, investasi asing tunduk pada satu logika, yaitu keuntungan. Maka rumah sakit asing akan masuk bukan untuk memperbaiki pelayanan puskesmas di daerah, melainkan membangun RS super premium di Jakarta, Bali, atau kota besar Indonesia. Targetnya jelas, kalangan atas dan ekspatriat. Rakyat kecil tidak masuk hitungan.
Pengalaman dari negara berkembang lain menunjukkan, ketika RS asing masuk tanpa kontrol, maka sistem akan terbelah: rumah sakit elite untuk segelintir orang kaya, dan rumah sakit publik yang stagnan untuk mayoritas rakyat.
Terjadi dual track system, dua jalur kesehatan yang timpang. Tenaga medis terbaik pun bisa berpindah ke RS asing karena gaji dan fasilitas lebih menjanjikan. Akibatnya, rumah sakit pemerintah dan daerah makin kekurangan dokter spesialis.
Kita mengalami brain drain internal yang memperparah ketimpangan layanan. Studi Liu et al. dalam Health Policy menyebut ini sebagai efek struktural yang terjadi ketika liberalisasi kesehatan tidak disertai regulasi distribusi tenaga dan kewajiban pengabdian.
Tanpa Regulasi, Kita Jadi Penonton
Lebih mengkhawatirkan lagi, jika RS asing hanya menjadi enclave eksklusif yang berdiri sendiri, tidak terhubung dengan sistem nasional, tidak melatih dokter lokal, dan tidak menyumbang inovasi untuk riset penyakit tropis.
Dalam skenario ini, Indonesia hanya menjadi pasar, bukan tuan rumah. Bahkan risiko inflasi harga layanan medis bisa terjadi karena pasar menyesuaikan harga dengan standar premium asing, bukan dengan kemampuan ekonomi rakyat.
Saya tidak menolak masuknya rumah sakit asing. Namun, saya menolak jika kehadirannya membuat sistem kesehatan nasional menjadi lebih mahal, lebih eksklusif, dan makin tidak adil. Maka dibutuhkan empat syarat mutlak:
Pertama, knowledge transfer. RS asing wajib bermitra dengan RS pendidikan, melatih SDM lokal, dan berbagi teknologi serta sistem manajemen.
Kedua, kewajiban layanan inklusif. Pemerintah bisa mewajibkan minimal 10-15 persen layanan untuk BPJS atau rujukan penyakit nasional sebagai syarat izin operasional.
Ketiga, harga dan etika pasar harus diatur. Perlu batas atas tarif layanan, serta pelarangan pemasaran medis yang menjual ketakutan atau eksklusivitas berlebihan.
Keempat, imbal balik untuk sistem nasional. RS asing harus diwajibkan mendukung riset, program layanan publik, atau subsidi lintas sektor (misalnya ikut membiayai pelayanan primer atau penyakit tropis yang tidak menguntungkan secara bisnis).
Kesehatan adalah hak asasi, bukan sekadar komoditas. Kita bisa membuka pintu investasi, tapi jangan biarkan bangsa ini kehilangan kunci untuk menjaga keadilan dan kedaulatan dalam sistem kesehatannya sendiri.
Investasi asing di sektor medis harus jadi katalis, bukan kolonialis. Jika regulasi kita lemah, maka rumah sakit asing akan menjadi seperti mal mewah yang berkilau, penuh layanan mahal, tapi hanya untuk segelintir orang. Dan rakyat kecil? Tetap mengantre panjang di puskesmas yang atapnya bocor.
Penulis adalah seorang Dokter, Aktivis Sosial, dan Kritikus.
Sumber: Kompas.com

Tidak ada komentar:
Tulis komentar