![]() |
| Presiden ke-7 RI Joko Widodo saat menyampaikan pesan kebangsaan saat Kongres PSI Partai Super Terbuka di Solo, Jawa Tengah (Jateng), Sabtu, 19 Juli 2025. |
Oleh: Moh Samsul Arifin
TIDAK ada yang sangat mengejutkan dalam kongres Partai Solidaritas Indonesia di Solo, Jawa Tengah, 19-20 Juli 2025 lalu. Klaim sebagai "Partai Super Tbk" seperti tercantum di logo baru PSI tidak tergambar--kalau bukan sedikit menjauh.
Tiga calon ketua umum yang mendaftar dan lalu bersaing berebut nakhoda PSI, seluruhnya berasal dari internal partai. Salah satunya Kaesang Pangarep, putra bungsu mantan presiden Joko Widodo. Calon dari luar atau nonkader absen.
Satu hal yang tak biasa--dan ini bagian dari perubahan yang keren dan patut dipuji dalam demokrasi di internal PSI--adalah kemenangan Kaesang lewat pemungutan suara secara online atau e-voting.
Dengan jalan ini, setiap anggota atau kader PSI di seluruh cabang di Tanah Air dapat berpartisipasi dalam memilih orang nomor satu yang akan memimpin parpol itu. Ini makna dan pengejawantahan dari "Partai Super Tbk" itu: Terbuka, bukan milik keluarga tertentu dan karenanya bisa dimasuki oleh siapa pun.
Kaesang meraup 102.868 suara atau setara 65,28 persen. Ini kemenangan telak meski seluruh penduduk Indonesia tahu Kaesang adalah pelanjut trah keluarga Jokowi, presiden ketujuh Republik Indonesia.
Toh kehadiran anggota keluarga Jokowi memimpin partai ini sesuai dengan harapan Ketua Dewan Pembina PSI, Jeffrie Geovanie.
Kali ini lewat pemilihan yang demokratis di Kongres, bukan lewat Kopi Darat Nasional. Pada 25 September 2023, Kaesang didapuk menjadi ketum PSI, cuma dua hari setelah yang bersangkutan menjadi anggota (Kompas.id, 26 September 2025).
Ini rekrutmen politik tercepat yang melesatkan anak muda menjadi ketua umum parpol yang berkontestasi di pemilihan umum. Anggota keluarga Jokowi telah ditawari untuk masuk PSI sejak Maret 2023.
Keberhasilan merekrut Kaesang itu tak pelak mengubah nasib PSI yang terancam ditutup jika perolehan suaranya turun di Pemilu 2024. Alhasil ancaman Jeffrie untuk "melakukan pemakaman terhadap PSI" (Kompas.com, 19 Juli 2025) jika suara PSI jeblok pun batal. Di bawah nakhoda Kaesang, PSI mendulang 4,26 juta suara atau 2,81 persen suara sah nasional di Pemilu 2024.
Raihan suara ini telah naik dibandingkan Pemilu 2019 di mana PSI terpojok menjadi parpol 1,89 persen atau 2,65 juta suara. Faktor Jokowi mungkin telah dinikmati PSI pada 2024, tapi tak setinggi yang diraup Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka.
Prabowo-Gibran menang pilpres 2024 dan masuk Istana. Adapun PSI kembali gagal masuk gedung DPR di Senayan, Jakarta, karena terhalang ambang batas (parliamentary threshold) sebesar empat persen.
Saat ini bukan hanya Kaesang yang menjadi amunisi PSI. Jokowi menyuratkan bahwa dia bakal "full mendukung PSI". Saat berpidato di depan Kongres PSI di Solo, 19 Juli 2025, Jokowi menegaskan, "Oleh sebab itu saya akan bekerja keras untuk PSI". Tak tanggung-tanggung, Jokowi menghitung jumlah caleg terpilih dari PSI di Pemilu 2029 mendatang, akan naik tiga kali lipat.
Secara pararel suara PSI bisa mencapai hampir 9 persen, alias setara dengan perolehan Partai Keadilan Sejahtera atau Partai Nasional Demokrat di Pemilu 2024.
Jokowi adalah "meteor" dalam panggung demokrasi langsung: Pemilihan Wali Kota Solo, Pemilihan Gubernur Provinsi Jakarta, dan Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden. Dia sudah menang lima kali. Belum lagi kalau kemenangan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka di Pilpres 2024.
Sebagai politikus, Jokowi terlihat lugu dan polos. Namun, ia licin dan piawai merencanakan dan memainkan langkah catur di gelanggang politik elektoral. Bila ia sudah menetapkan tujuan (goal), Jokowi bakal menggunakan segenap ikhtiar untuk mencapainya.
Fauzi Bowo ditekuknya di Pilkada Jakarta tahun 2012. Prabowo keok dari Jokowi di Pilpres 2014 dan 2019. "Saya akan bekerja keras untuk PSI" merangkum kebulatan tekad seorang Jokowi yang di masa pemerintahannya menggelorakan "Kerja, kerja, kerja".
Ini semacam pengumuman kepada publik dan partai politik di dalam negeri bahwa ia kini akan memberikan waktu, pikiran, tenaga, sumber daya dan infrastruktur politik seperti relawan untuk PSI. Kita tahu keberanian Jokowi menggunting subsidi energi (BBM) cuma sekian pekan setelah memimpin Indonesia tahun 2014.
Setelah itu, ia menggenjot anggaran infrastruktur hingga ratusan triliun rupiah. Anggaran untuk infrastruktur di masanya hanya kalah dari dana stimulus jumbo yang dikeluarkan Pemerintahan Jokowi di masa pandemi Covid-19. Jika punya kemauan (will), Jokowi bakal mengejarnya hingga mentok.
Saya kira pengetahuan beginian bukan hasil belajar di kampus atau diinspirasi pikiran tokoh dunia dari buku, melainkan diasah dari pengalaman hidup Jokowi bertegur sapa dengan hal-hal praktis dan intim, tapi aktual di sekitarnya.
Jokowi adalah seorang pemberani, tukang terobos, tapi pada saat yang sama, ia suka menabrak--dalam batas-batas yang bisa diterima hingga melampaui logika umum. Pengalaman sepuluh tahun memimpin Indonesia lebih dari cukup, atau bahkan "turah" (lebih-lebih), untuk membantu PSI.
Ini adalah medan pembuktian untuk "pensiunan" presiden seperti Jokowi setelah dipecat dari PDI Perjuangan akibat konflik yang dipicu perbedaan dukungan terhadap calon presiden. Dulu, PDI Perjuangan bahkan menyebut Jokowi, yang notabene seorang presiden RI, sebagai "petugas partai".
Di Pemilu 2024, faktor sang "petugas partai" itu disebut-sebut membuat suara pasangan Ganjar Prabowo-Mahfud MD kempis di Jawa Tengah. Dalam politik, Jokowi adalah "someone". Inilah mengapa Prabowo menyebut Jokowi sebagai guru politiknya.
Dalam hari-hari mendatang kita akan tahu posisi apa yang akan diserahkan PSI kepada Jokowi. Ibarat menangkap ikan di tengah laut, Jokowi adalah tangkapan besar yang dapat digunakan untuk membesarkan PSI. Ini lebih dari sukses, tapi di atas mimpi. Apalagi Jokowi pernah dihubungkan dengan Golkar dan sekian parpol lainnya.
Jadi, terlalu biasa jika partai ini meletakkan Jokowi sekadar di belakang layar. Secara berseloroh, Jokowi bilang, "Di depan bisa, di belakang bisa, di tengah juga bisa" setelah bertemu Presiden Prabowo Subianto di rumah Jokowi di Solo (20 Juli 2025).
Soeharto adalah ruh Golkar sejak 1971. Presiden yang menggantikan Soekarno itu tak pernah menjabat ketua umum Golkar.
Namun, Soeharto mengemudikan Golkar dalam struktur bernama Ketua Dewan Pembina. Akankah pola yang sama bakal diadaptasi oleh PSI? Atau partai ini sedang menyiapkan struktur lain untuk Jokowi? Dengan masuknya Jokowi ke PSI--ditunjukkan dengan kalimat "saya akan bekerja keras untuk PSI"'--berarti seluruh mantan presiden di masa reformasi berkecimpung di partai politik setelah mereka tak berkuasa.
BJ Habibie, Abdurrahman Wahid, Megawati Soekarnoputri, Susilo Bambang Yudhoyono dan Joko Widodo "menghidup-hidupi" parpol. Megawati bahkan terus menjadi ketua umum partai (PDIP) dari 1998 sampai sekarang. Habibie minus dinasti politik. Demikian juga Gus Dur.
Sedangkan anak-anak Megawati, SBY dan Jokowi terjun di medan politik. Sejarah nanti akan mencatat siapa dari deretan keluarga mantan presiden ini yang akan memimpin Indonesia. Mengemudikan partai politik tentu tak lebih berat dibandingkan menakhodai Indonesia.
Di atas kertas, secara hipotesis, kita bisa bilang Jokowi akan berhasil membesarkan PSI serta mendongkrak suara partai yang kini berlogo "gajah hitam dengan kepala dan belalai merah" ini.
Yang beda, saat ini Jokowi bukan lagi seorang presiden. Ia datang dari masa lalu: masa silam yang cemerlang. Ia bukan "Sore: Istri dari Masa Depan"--sebuah film yang saat ini banyak dibicarakan oleh publik.
Tokoh Sore sudi kembali ke masa lalu, masa yang didiami Jonathan, untuk bikin kehidupan suaminya itu lebih baik. Ini film fiksi, bukan medan politik. Sedangkan politik tidak selalu dapat ditebak, menyediakan kejutan-kejutan yang kadang tak dapat dimengerti, bahkan absurd.
Partai Persatuan Pembangunan (PPP) yang sudah berlaga sejak Pemilu 1977 contohnya, gagal masuk DPR di Pemilu 2024, karena raihan suaranya tidak mencapai ambang batas empat persen.
Fenomena ini agak di luar nalar karena PPP telah punya identitas kokoh sebagai partai Islam. Ke mana massa loyal mereka di Pemilu 2024? PSI tidak punya identitas sekokoh PPP atau PSI di masa Soekarno, yakni Partai Sosialis Indonesia.
Selama ini PSI meletakkan diri sebagai partai yang tegak lurus pada Jokowi, dikatakan secara intens menuju Pemilu 2024 lalu. PSI juga meyakini, menggali dan menyebarkan apa yang dinamakan sebagai "Jokowisme".
Namun, apakah ketika Jokowi dan "Jokowisme" bertemu di dalam PSI, langkah ini bakal mendulang keberuntungan besar buat partai ini? Sebelum itu bersiaplah dengan target jangka pendek.
Sebagai partai yang tak memiliki kursi DPR, PSI akan melakukan apa untuk ikut merancang ulang parliamentary threshold? Sebagaimana dimaklum Mahkamah Konstitusi telah memutuskan ambang batas DPR sebesar empat persen harus diubah menuju Pemilu 2029.
Ini kesempatan kepada parpol, DPR dan pemerintah untuk menurunkan angkanya yang lebih pas dan adil. Jika ambang batas DPR turun menjadi 2,5 persen, beban PSI jauh lebih ringan.
Penulis adalah Broadcaster Journalist
Sumber: Kompas.com

Tidak ada komentar:
Tulis komentar