Kamis, 10 Juli 2025

DPR, MK, dan Ketegangan Institusional Konstitusi

Suasana Rapat Komisi III DPR RI dengan Sekjen MK, MA dan KY, pada Rabu, 09 Juli 2025. 

Oleh: Firdaus Arifin


KETEGANGAN antara Dewan Perwakilan Rakyat dan Mahkamah Konstitusi kembali mencuat ke permukaan.


Sorotan terbaru datang dari rapat kerja Komisi III DPR dengan Sekretaris Jenderal Mahkamah Konstitusi (9 Juli 2025), yang semestinya membahas usulan anggaran, tetapi berubah menjadi ruang gugatan terhadap putusan MK terkait pemisahan Pemilu Nasional dan Pemilu Daerah.


Frasa yang menggema dalam ruang rapat itu: “Jangan sampai 500 anggota DPR dikalahkan oleh 9 hakim MK.”


Pernyataan ini bukan sekadar ekspresi kekecewaan, melainkan pertanda bahwa hubungan antar-lembaga negara sedang berada dalam titik tegang yang perlu dijernihkan secara konstitusional.


Titik panasnya adalah Putusan MK Nomor 135/PUU-XXII/2024, yang memutus pemisahan waktu antara Pemilu Nasional dan Pemilu Daerah.


Putusan ini dianggap sebagian kalangan di DPR sebagai bentuk aktivisme yudisial yang melampaui batas.


Namun, apakah benar Mahkamah Konstitusi telah melangkah terlalu jauh? Atau justru DPR yang enggan membaca konstitusi secara utuh?


Ujian


Mahkamah Konstitusi memang bukan pembentuk undang-undang. Ia tidak dipilih melalui pemilu dan tidak tunduk pada mekanisme pertanggungjawaban elektoral.


Namun, peran MK sebagai pengawal konstitusi (guardian of the constitution) mengharuskan lembaga ini untuk membaca undang-undang tidak sekadar pada teks, melainkan juga pada semangat konstitusi.


Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 menegaskan bahwa MK berwenang menguji undang-undang terhadap UUD. Di sini, muncul frasa penting: “terhadap Undang-Undang Dasar.”


Artinya, sekalipun suatu norma telah disetujui DPR dan Presiden, tetap terbuka ruang bagi MK untuk menilainya tidak selaras dengan konstitusi.


Putusan MK 135/PUU-XXII/2024 memang mengandung implikasi besar: merombak sistem pemilu serentak lima kotak yang telah digunakan dalam dua pemilu terakhir.


Namun, putusan ini juga lahir dari permohonan warga negara yang menyoal efektivitas, efisiensi, dan beban administratif dari pemilu serentak.


MK dalam hal ini, tidak sedang menyusun kebijakan baru, melainkan menilai bahwa UU Pemilu telah menimbulkan persoalan konstitusionalitas. Yang menjadi persoalan bukan pada hak MK untuk memutus, melainkan pada keluasan implikasi putusannya.


Namun, implikasi luas tidak serta-merta menjadikan suatu putusan melampaui kewenangan. Jika logika ini diikuti, maka setiap putusan MK yang berdampak besar akan selalu dianggap overacting.


Dalam sistem ketatanegaraan Indonesia, relasi antarlembaga negara memang tidak selalu bersifat hierarkis. MK tidak berada di bawah DPR, sebagaimana DPR juga tidak berada di bawah MK.


Sistem check and balances meniscayakan adanya relasi yang bersifat saling mengawasi, bukan saling mendikte. Sayangnya, relasi ini kerap tidak berjalan dalam suasana saling menghormati.


Dalam beberapa momentum, termasuk yang terjadi pada Juli 2025 ini, ketegangan institusional lebih didorong oleh emosi politik ketimbang nalar hukum.


Akibatnya, kritik terhadap MK cenderung bersifat politis dan personal. DPR, sebagai lembaga legislatif yang memegang kedaulatan rakyat, tentu berhak menyuarakan kritik terhadap lembaga yudikatif.


Namun, kritik itu sebaiknya diletakkan pada rel tertentu: bukan untuk mendikte atau melemahkan, melainkan untuk mengawal. Kritik bukanlah alat tekanan, melainkan bagian dari dinamika demokrasi.


Sebaliknya, MK juga harus menyadari bahwa kewenangannya untuk menafsirkan konstitusi tidak boleh menjadikan lembaga ini bersifat arogan.


Tafsir konstitusi bukan ruang kosong yang hanya dimonopoli oleh hakim konstitusi, tetapi harus mempertimbangkan aspirasi dan dinamika sosial-politik yang hidup di masyarakat.


Ketegangan antara DPR dan MK bukan baru kali ini terjadi. Sebelumnya, pada saat MK memutus usia minimum capres-cawapres dalam Putusan Nomor 90/PUU-XXI/2023, sebagian kalangan DPR juga bereaksi keras.


Namun perlu dicatat, Putusan MK bersifat final dan mengikat. Ini adalah karakteristik universal dari lembaga pengadilan konstitusi di berbagai negara.


Yang patut diwaspadai bukan ketegangan antar-lembaga, melainkan jika ketegangan itu berlanjut menjadi political backlash—yakni upaya membatasi kewenangan MK melalui revisi UU secara tergesa-gesa atau bahkan melalui tekanan personal terhadap hakim konstitusi.


Gejala ini mulai tampak. Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) yang dilakukan Komisi III DPR dengan pakar hukum pada 4 Juli 2025, meskipun diklaim sebagai forum akademik, dalam banyak sisi menunjukkan keinginan untuk “menakar ulang” independensi MK. Ini bukanlah isyarat sehat dalam bangunan negara hukum yang demokratis.


Jalan Tengah


Menjaga keseimbangan institusional bukan perkara mudah. Dalam sistem presidensial multipartai seperti Indonesia, peran masing-masing lembaga negara harus dipahami dalam bingkai konstitusi, bukan dalam bingkai partai.


Jika DPR merasa keberatan dengan putusan MK, maka langkah yang konstitusional bukanlah mengintervensi lembaga yudikatif, melainkan menempuh mekanisme legislasi untuk menyesuaikan norma.


Ini juga yang diisyaratkan oleh Mahkamah Konstitusi dalam banyak putusannya: adanya ruang diskresi terbatas bagi pembentuk undang-undang untuk merespons putusan MK dalam bentuk pembentukan regulasi.


Di sisi lain, MK harus bersikap arif dalam mengeluarkan putusan yang memiliki dampak politis dan administratif yang luas.


Meski tidak bisa menghitung efek politis secara presisi, MK harus mempertimbangkan aspek implementabilitas dan kesiapan kelembagaan.


Tafsir konstitusi yang terlalu abstrak, meskipun benar secara hukum, bisa menimbulkan kebingungan dalam praktik.


Ketegangan antara MK dan DPR adalah peluang untuk merefleksikan ulang arsitektur kelembagaan kita.


Apakah sudah cukup kuat sistem checks and balances yang kita miliki? Apakah sudah cukup terbuka ruang deliberasi antar-lembaga tanpa saling mendominasi? Kita harus ingat bahwa konstitusi bukanlah milik lembaga tertentu.


Ia adalah konsensus tertinggi dari seluruh elemen bangsa. Tafsir terhadapnya harus dilakukan dengan rendah hati, dengan mengedepankan kepentingan publik dan prinsip keadilan.


Dalam konteks itu, kritik terhadap Mahkamah Konstitusi boleh saja dilakukan. Namun, harus dihindari penyikapan yang bersifat ad hominem atau bermotif politis.


Lembaga pengawal konstitusi harus dijaga marwah dan independensinya, sebagaimana DPR juga harus dijaga fungsinya sebagai representasi rakyat.


Ketegangan antar-lembaga adalah bagian dari dinamika demokrasi. Namun, ia akan menjadi krisis jika tidak direspons dengan kedewasaan konstitusional.


MK dan DPR, sebagai dua pilar penting dalam sistem ketatanegaraan, harus kembali pada ruh konstitusi: bahwa kekuasaan dijalankan dengan pembatasan, bukan kesewenang-wenangan.


Bahwa kewenangan bukanlah alat dominasi, melainkan sarana mengabdi pada kepentingan rakyat. Negara hukum hanya bisa hidup bila institusinya saling menghormati, bukan saling menaklukkan.


Penulis adalah Dosen Fakultas Hukum Universitas Pasundan & Sekretaris APHTN HAN Jawa Barat

Show comments
Hide comments
Tidak ada komentar:
Tulis komentar

Berita Terbaru

Back to Top