JAKARTA, GebrakNasional.Com – Alat monitor gempa dan peringatan dini tsunami yang dikelola oleh Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) sepanjang 2015-2025 di sejumlah wilayah Indonesia mengalami kerusakan dan hilang dicuri.
Demikian dikatakan Direktur Gempa Bumi dan Tsunami BMKG, Daryono dalam keterangannya, Sabtu, 15 Februari 2025.
Menurutnya wilayah terbanyak terjadi di Sidrap, Sulawesi Selatan (Sulsel) dan Garut, Jawa Barat (Jabar).
“Dalam catatan BMKG, sejak 2015 telah terjadi setidaknya sebanyak 10 kali kasus pencurian dan perusakan terhadap peralatan monitoring gempa dan peringatan dini tsunami yang dikelola BMKG,” ujarnya.
“Tahun 2015 di Cisompet, Garut, Jabar, dua kali. Tahun 2017 di Muara Dua, Sumatera Selatan (Sumsel). Tahun 2018, di Manna, Bengkulu. Tahun 2022, di Indragiri Hilir, Riau. Tahun 2022, di Kluet Utara, Aceh Selatan. Tahun 2022 di Sorong, Papua Barat. Tahun 2022, di Jambi. Tahun 2022, di Sausapor, Tambrauw, Papua Barat. Tahun 2024, di Pulau Banyak, Aceh Singkil, dan tahun 2025 di Sidrap, Sulawesi Selatan (Sulsel) empat kali,” imbuhnya.
Daryono mengatakan, kasus terbaru pencurian dan perusakan terhadap peralatan monitoring gempa dan peringatan dini tsunami terjadi di Desa Buae, Kecamatan Watang Pulu, Kabupaten Sidrap, Sulsel, pada 12 Februari 2025, sekitar pukul 23.00 WITA.
“Dalam kejadian itu, pencuri mengambil sebanyak enam unit aki yang digunakan untuk menghidupkan sensor seismograf serta dua unit panel surya yang terpasang di atas bangunan shelter stasiun SPSI (Sidrap-Indonesia). Ini merupakan kasus ke-4 kalinya pencurian dan perusakan peralatan BMKG terjadi di lokasi yang sama,” ujarnya.
Daryono menyebut, kejadian kali ini, pencuri bahkan membongkar bangunan shelter, masuk ke dalamnya, dan mengambil seluruh baterai (aki) yang berfungsi sebagai sumber daya utama bagi stasiun monitoring gempa.
Akibatnya, kata dia, BMKG terpaksa mencabut seluruh peralatan yang tersisa, termasuk sensor, digitizer, dan peralatan komunikasi, untuk menghindari kerugian lebih besar.
Daryono menjelaskan, wilayah ini secara tektonik merupakan daerah rawan gempa karena berada di jalur patahan aktif Sesar Walanae.
Berdasarkan laporan Pusat Gempa Nasional (Pusgen, 2017), Sesar Walanae di Sulawesi Selatan bukanlah sesar mikro, melainkan sesar regional yang dapat memicu gempa hingga magnitudo Mw7,1.
Menurut peta seismisitas/kegempaan, kawasan Teluk Mandar, Pinrang, Rappang, dan Pare Pare memiliki tingkat aktivitas kegempaan yang sangat tinggi akibat aktivitas Sesar Walanae.
Selain gempa bumi, wilayah ini juga berpotensi mengalami dampak ikutan gempa yaitu longsor (landslide), runtuhan batu (rockfall), dan likuifaksi.
“Wilayah ini pernah diguncang gempa dahsyat berkekuatan Mw6,0 pada 29 September 1997, yang mengakibatkan: 16 orang meninggal dunia, 35 orang luka berat, 50 rumah rusak berat, dan lebih dari 200 rumah rusak ringan,” ujarnya.
Daryono menambahkan, pencurian peralatan BMKG sangat merugikan keselamatan masyarakat, karena tanpa sensor gempa yang berfungsi, maka kecepatan dan akurasi BMKG dalam memberikan informasi gempa dan peringatan dini tsunami di Sulsel akan menurun.
“Perlu diingat bahwa wilayah Sulsel juga pernah terdampak tsunami dari Teluk Mandar yang dipicu gempa Mw6,3 pada 11 April 1967, menyebabkan 58 orang meninggal dunia,” pungkasnya. (Ida)

Tidak ada komentar:
Tulis komentar