![]() |
| Rumah-rumah di bantaran sungai runtuh satu per satu ketika banjir besar menerjang kawasan permukiman di Sumatera Barat, menyisakan puing dan genangan lumpur tebal. |
Oleh: Darmansjah Djumala
Bencana Sumatera tidak hanya menimbulkan dukacita, tapi juga silang sengketa kata. Manakala bencana banjir bandang menerpa tiga provinsi (Aceh, Sumatera Utara dan Sumatera Barat) akhir November lalu, membuat para korban panik menyelamatkan diri, para petinggi negeri justru sibuk menyusun kata untuk jaga harga diri.
Indonesia menerima banyak tawaran bantuan dari negara sahabat untuk meringankan beban akibat bencana Sumatera. Presiden Prabowo Subianto menolak bantuan yang ditawarkan negara sahabat.
Indonesia mampu mengatasi bencana, katanya pada 15 Desember lalu. Di tengah gaduhnya media sosial terkait bantuan asing untuk bencana Sumatera, Menteri Dalam Negeri Titio Karnavian pada 19 Desember, mengatakan pemerintah pusat tidak menolak bantuan asing.
Indonesia bisa menerima jika bantuan itu berasal dari pihak nonpemerintah. Ini artinya Indonesia hanya menerima bantuan jika disalurkan melalui organisasi internasional.
Tidak dalam konteks hubungan bilateral Indonesia dengan negara pemberi bantuan. Pada titik ini muncul pertanyaan: mengapa Indonesia terkesan seperti jaga gengsi tidak mau menerima bantuan secara bilateral?
Dalam perspektif diplomasi dan kebijakan luar negeri, keputusan menerima bantuan internasional didasarkan pada pertimbangan strategis, baik dalam konteks kemanusiaan dan kedaulatan.
Kemanusiaan, karena kesediaaan menerima bantuan untuk bencana merupakan manifestasi penghormatan atas solidaritas kemanusiaan yang ditunjukkan oleh negara sahabat.
Kedaulatan, karena Indonesia harus menjaga marwah negara yang mampu mengatasi bencana dalam negeri.
Walakin, pertimbangan kedaulatan ini jauh lebih dalam dari sekedar menjaga marwah negara.
Keputusan pemerintah untuk hanya menerima bantuan bencana melalui lembaga internasional—dan bukan dalam kerangka bilateral langsung—mencerminkan kalkulasi politik-diplomatik yang logis.
Mengapa? Pertama, jalur multilateral memberi payung normatif-politik yang memungkinkan Indonesia bisa menjaga kedaulatan.
Sebab, berurusan dengan lembaga multilateral relatif lebih lemah tekanan politiknya dibanding bantuan bilateral, terutama jika negara sahabat itu secara politik lebih kuat dan berpengaruh.
Tengok saja Amerika Serikat. Negara ini keluar dari banyak lembaga multilateral dengan maksud agar lebih luwes dan efektif memainkan power-nya jika berhadapan dengan negara yang dinilai tidak sejalan dengan kepentingan politiknya.
Dengan logika politik seperti ini, bisa dimaklumi jika Indonesia hanya mau menerima bantuan dari lembaga multilateral.
Dengan menolak bantuan bilateral, Indonesia bisa menghindar dari tekanan politik yang berbungkus bantuan kemanusiaan.
Kedua, bantuan kemanusiaan yang disalurkan melalui lembaga internasional lebih kecil tekanan politiknya.
Indonesia lebih mudah mengontrol distribusi bantuan, pengerahan personel, penentuan skala prioritas dalam fase rekonstruksi dan rehabilitasi wilayah terdampak bencana.
Dalam fatsun diplomasi, peran dominan negara penerima dalam pengelolaan bantuan multilateral seperti ini sangat penting, karena tidak membuka ruang persepsi publik domestik tentang adanya “intervensi” oleh negara tertentu.
Ketiga, terkait dengan prinsip bebas-aktif politik luar negeri Indonesia sendiri. Bantuan lembaga internasional-multilateral sejatinya adalah dana urunan dari banyak negara, lintas ideologi, sistem politik dan kepentingan.
Semua kepentingan politik negara per negara lebur dalam misi besar: kemanusiaan. Tatkala kepentingan politik negara individual tereduksi menjadi misi solidaritas kemanusiaan internasional, negara penerima bantuan tak perlu khawatir akan adanya tuduhan berpihak kepada negara tertentu.
Bagi Indonesia frasa “tak berpihak pada negara tertentu” itu penting, karena sesungguhnya kebijakan luar negeri Indonesia itu bebas.
Watak bebas dalam penentuan sikap dan kebijakan luar negeri lebih terakomodasi dalam lembaga multilateral.
Dalam konteks itulah kebijakan pemerintah hanya menerima bantuan internasional-multilateral bisa dipahami.
Meski dapat dipahami dari sudut pandang kedaulatan dan marwah negara, keputusan menolak bantuan internasional secara bilateral tidak sepenuhnya bebas dari konsekuensi politis-diplomatik.
Selama dua dekade terakhir, Indonesia secara konsisten membangun citra sebagai middle power yang moderat dan inklusif, sehingga menempatkan Indonesia dalam mainstream politik dunia.
Seperti dikemukakan Andrew Cooper (Niche Diplomacy: Middle Powers after the Cold War, 1997) dan John Ravenhill (APEC and the Construction of Pacific Rim Regionalism, 2001) dalam kajian mereka tentang middle power diplomacy, pengaruh negara-negara middle power lebih banyak bertumpu pada reputasi, jejaring persahabatan strategis, dan kemampuan bertindak sebagai penghubung kepentingan dalam forum multilateral (bridge builder), ketimbang pada kapasitas koersif.
Sebagai middle power dalam pergaulan dunia, diplomasi Indonesia dikenal luwes dan acceptable, karena berakar pada citra sebagai negara yang tidak konfrontatif, terbuka terhadap kerja sama, dan memiliki hubungan baik dengan hampir seluruh blok kekuatan dunia.
Citra mainstream tersebut juga terbentuk oleh konsistensi Indonesia dalam komitmennya terhadap “bahasa global” yang dominan dewasa ini: demokrasi, hak asasi manusia, dan lingkungan hidup.
Indonesia kerap dipersepsikan sebagai role model demokrasi di negara berkembang: negara dengan mayoritas Muslim moderat terbesar di dunia. Meminjam istilah Amitav Acharya, dengan profil semacam itu Indonesia mampu menjembatani nilai global dengan konteks lokal.
Komitmen ini membuat posisi diplomasi Indonesia relatif cair: diterima Barat tanpa dicurigai sebagai perpanjangan agenda Barat, sekaligus dipercaya Global South karena tidak tampil hegemonik (Amitav Acharya, Whose Ideas Matter? Agency and Power in Asian Regionalism, 2011).
Modal diplomatik inilah yang memungkinkan Indonesia memainkan peran penting dalam berbagai isu kemanusiaan global.
Misalnya saja: menjadi co-chair Covax WHO pada masa pandemi, kepemimpinan G20 di tengah krisis energi pangan dan energi akibat perang Rusia-Ukraina, hingga diplomasi kemanusiaan dalam isu Rohingya.
Namun, dengan segala identitas tersebut, penolakan bantuan internasional - baik multilateral maupun bilateral - untuk bencana Sumatera menimbulkan dilema diplomasi bagi Indonesia. Seperti dicatat Joseph S. Nye (Soft Power: The Means to Success in World Politics, 2004), daya tarik sebuah negara dalam politik internasional tidak hanya tergantung pada apa yang dilakukannya, tetapi juga pada bagaimana nilai dan tindakan tersebut dibaca, dipahami, dan diterima oleh pihak luar.
Dalam takaran soft power, diplomasi Indonesia dikenal sebagai negara Muslim moderat dan toleran yang menghargai keberagaman, kemanusiaan dan gotong royong.
Bisa dibayangkan, dengan mengemban predikat semacam itu, bagaimana dunia menilai Indonesia jika Indonesia seperti gamang menerima bantuan kemanusiaan internasional?
Sulit bagi negara sahabat - yang selama ini menilai Indonesia sangat aktif dalam diplomasi kemanusiaan - memahami alasan Indonesia menolak bantuan kemanusiaan bilateral.
Bencana di Sumatera seharusnya menjadi momentum refleksi diplomasi kemanusiaan Indonesia. Kemandirian nasional dan keterbukaan internasional bukanlah dua kutub yang saling meniadakan.
Justru pada irisan dua masalah itu Indonesia menghadapi tantangan untuk menemukan keseimbangan: kapan Indonesia perlu berdiri sendiri, dan kapan justru memperkuat posisinya melalui solidaritas global.
Di situlah ujian sesungguhnya bagi Indonesia sebagai middle power dan bridge-builder di tengah dunia yang semakin rapuh oleh krisis dan bencana.
Penulis adalah Dosen Hubungan Internasional di FISIP Unpad Bandung.
Sumber: kompas.com

Tidak ada komentar:
Tulis komentar