![]() |
| Ketua DPR RI, Puan Maharani saat menghadiri Forum MIKTA Speakers' Consultasion ke-11 Tahun 2025, di Seoul, Korea Selatan. |
JAKARTA, GebrakNasional.Com – Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Republik Indonesia (RI), Puan Maharani mengangkat isu perdamaian dunia, termasuk Palestina dan Sudan, dalam Forum 11th MIKTA Speakers' Consultation di Seoul, Korea Selatan (Korsel), Rabu, 12 November 2025.
Diketahui, MIKTA merupakan grup negara-negara middle power beranggotakan Meksiko, Indonesia, Korsel, Turkiye, dan Australia.
Adapun MIKTA Speakers' Consultation adalah forum konsultasi bagi Ketua Parlemen anggota MIKTA.
Forum ke-11 tersebut digelar di Korea Selatan sebagai tuan rumah dan dipimpin Ketua Majelis Nasional Republik Korsel Woo Won-shik yang memegang posisi Ketua Parlemen MIKTA 2025.
Sesi pertama forum mengusung tema “Inter-Parliamentary Cooperation on Peacebuilding and Humanitarian Assistance” untuk membahas kerja sama antarparlemen dalam pembinaan perdamaian dan bantuan kemanusiaan.
“Izinkan saya memulai dengan menyadari betapa beratnya momen ini. Di sekitar kita, persaingan antarnegara adidaya semakin meningkat, penggunaan kekuatan menjadi hal yang normal, dan ruang untuk menahan diri semakin rapuh,” kata Puan dalam keterangan resminya, Rabu, 12 November 2025.
Dia juga membicarakan masalah kemanusiaan yang telah berlangsung lama di Palestina serta konflik Sudan yang baru-baru ini terjadi.
“Dalam situasi ini, konsekuensi kemanusiaan di Palestina, Ukraina, Sudan, Yaman, dan di belahan dunia lainnya bukanlah berita yang jauh dari topik utama, tetapi menuntut kita untuk segera mengambil langkah nyata dan menyelesaikannya,” tegasnya,
Menurutnya, tantangan yang dihadapi kali ini berbeda karena bukan berkaitan dengan jumlah korban, tetapi risiko eskalasi.
Oleh karena itu, kata Puan, anggota MIKTA harus memperkuat manajemen krisis dan membangun kepercayaan.
“Realitas ini mengingatkan kita bahwa insting pertama kita haruslah deeskalasi dan dialog yang kredibel, bukan upaya terakhir yang diambil terlambat,” ujarnya.
Puan menegaskan, parlemen bukanlah pengamat dalam pembangunan perdamaian, melainkan pihak yang berperan mengubah komitmen menjadi Undang-Undang (UU), anggaran, dan pengawasan agar perdamaian dapat terus terjaga.
“Peran kita adalah memastikan mandat dan sumber daya selaras dengan kenyataan di lapangan, bukan pola yang dipaksakan dari jauh,” jelasnya.
Dalam aspek pembangunan perdamaian atau peacebuilding, Puan menekankan bahwa inklusi harus dibangun sejak awal.
Ia menyebut, komunitas lokal, perempuan, dan pemuda harus membantu merancang, mengimplementasikan, dan meninjau program-program pembangunan perdamaian.
“Hal ini dapat memperkuat legitimasi dan mengurangi risiko krisis yang berulang," tegas Puan.
Ia juga menilai pentingnya rancangan pendanaan, termasuk penganggaran jangka panjang dan inklusif, sebagai investasi dalam ketahanan untuk memperkuat lembaga-lembaga menahan guncangan.
“Upaya-upaya ini harus berlabuh pada keutamaan sistem multilateral dan penghormatan terhadap hukum internasional,” ujar Puan.
Ia menambahkan, Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) tetap menjadi pusat arsitektur pembangunan perdamaian global, sementara parlemen MIKTA harus memperkuat perannya melalui UU dan kontribusi berkelanjutan terhadap sistem yang berlaku.
Dalam kesempatan tersebut, Puan juga mengingatkan bahwa bantuan kemanusiaan harus menghormati netralitas, imparsialitas, dan bebas dari agenda politik, ekonomi, atau militer.
Menurutnya, penyaluran bantuan kemanusiaan perlu didasarkan pada penilaian independen yang berorientasi pada kebutuhan, serta mendapatkan persetujuan dari negara penerima, dengan tetap menghormati kedaulatan dan integritas wilayahnya.
Menutup pidatonya, Puan menegaskan bahwa parlemen MIKTA harus bersatu mendorong akses bantuan yang bebas hambatan dan penyaluran yang tidak selektif, sekaligus menolak segala bentuk persenjataan bantuan.
“Sebagai lembaga legislatif, kita harus mengubah komitmen ini menjadi tindakan, melalui pengawasan yang lebih kuat, akuntabilitas yang jelas, dan pendanaan yang dapat diprediksi yang memastikan diplomasi kita diterjemahkan menjadi perlindungan dan pemulihan di lapangan,” tuturnya. (*/red)

Tidak ada komentar:
Tulis komentar