Minggu, 17 Agustus 2025

Sidang Tahunan MPR: Ritual yang Kehilangan Ruh

Ketua DPR RI, Puan Maharani bersama Ketua DPD RI, Sultan Bachtiar Najamudin memimpin jalannya Sidang Tahunan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) 2025 di Gedung Parlemen, Senayan, Jakarta, Jumat, 15 Agustus 2025. 

Oleh: Firdaus Arifin


DI BULAN Agustus, kursi-kursi di ruang sidang Nusantara dipenuhi jas dan kebaya, senyum protokoler, dan suara langkah yang menggaung di karpet merah. Lampu-lampu yang terang memantulkan kilau pin emas di dada para anggota.


Sidang Tahunan MPR 2025 kembali digelar—persis seperti tahun-tahun sebelumnya, dengan tata urutan acara yang nyaris tak berubah sejak era reformasi.


Namun, seperti doa yang diulang tanpa rasa, ia menjadi ritual yang lebih mengedepankan kehadiran fisik ketimbang kehadiran makna.


Kita menghafal urutannya, kita tahu kapan tepuk tangan akan diberikan, dan kita sudah menebak kata-kata yang akan keluar dari mimbar utama.


Bahkan kamera televisi pun tahu kapan harus menyorot wajah presiden, kapan harus bergeser ke ketua MPR, dan kapan menampilkan menteri-menteri di barisan depan.


Ritual ini, mestinya, adalah momen puncak kenegaraan: ruang untuk menimbang kembali arah bangsa, menatap ke depan dengan

Namun tahun demi tahun, ia terjebak menjadi seremonial yang lebih berfungsi sebagai kalender protokoler ketimbang panggung evaluasi republik.


Sidang Tahunan MPR pernah punya gengsi yang lain. Pada masa sebelum amandemen UUD 1945, inilah forum tertinggi negara, tempat presiden mempertanggungjawabkan mandatnya di hadapan wakil rakyat dan utusan daerah.


Ia adalah panggung besar di mana politik menemukan ruang dramatiknya—kadang tegang, kadang mengharukan, kadang penuh intrik. Namun, setelah amandemen konstitusi, fungsi MPR bergeser.


Ia tak lagi menjadi lembaga tertinggi negara, melainkan sekadar lembaga permusyawaratan yang bersidang setahun sekali.


Sidang Tahunan kini lebih mirip pidato kenegaraan yang dibungkus tata acara—dengan susunan kalimat yang hati-hati agar tak menimbulkan kegaduhan politik.


Sejarah yang dulunya hidup kini hanya jadi arsip. Kita membacanya di catatan, bukan merasakannya di ruang sidang.


Kita mengenang sidang-sidang yang pernah mengubah arah republik—dari melantik presiden baru hingga mengakhiri kekuasaan yang terlalu lama—namun yang kita saksikan hari ini hanyalah pidato panjang tanpa gesekan ide.


Bahasa yang digunakan di Sidang Tahunan MPR selalu terdengar rapi, tapi jarang menyentuh. Kalimatnya penuh angka, penuh istilah teknis, dan aman dari kemungkinan salah tafsir.


Ia mengalir seperti laporan tahunan korporasi: bersih dari kontroversi, tapi juga miskin emosi.


Dalam bahasa yang kering, cita-cita sering terjebak jadi jargon. Kata “pembangunan berkelanjutan” terdengar tanpa gambar kehidupan yang nyata di desa-desa.


Istilah “transformasi digital” menguap tanpa kisah tentang anak-anak di pelosok yang masih meminjam sinyal dari bukit. Kata-kata besar kehilangan tubuhnya.


Padahal, bahasa adalah jembatan antara pemimpin dan rakyat. Tanpa kejujuran di dalamnya, ia hanya menjadi gema di ruang megah yang tak pernah keluar dari dindingnya.


Bahasa di sidang ini lebih sibuk merawat kehormatan protokoler ketimbang menyalakan imajinasi kolektif bangsa.


Yang hadir di ruang sidang bukan hanya mereka yang diundang. Ada juga “kehadiran” lain yang tak terlihat: rakyat yang menonton lewat layar televisi atau potongan video di media sosial.


Mereka tidak duduk di kursi empuk, tidak mendapat undangan bercap emas, tapi merekalah pemilik sah republik. Namun, hubungan antara yang bicara di mimbar dan yang mendengar di luar gedung seakan renggang.


Jarak itu tak lagi hanya geografis, tapi juga emosional. Kata-kata yang diucapkan tidak selalu sampai ke hati pendengar. Rakyat lebih sering menjadi penonton pasif, bukan peserta yang terlibat.


Kehadiran rakyat di sidang ini sifatnya simbolik—mereka disebut dalam kalimat pembuka, dijadikan subjek dalam narasi pembangunan, tapi jarang benar-benar diajak bicara.


Seolah negara mengira cukup dengan menyebut kata “rakyat” di mimbar, lalu urusan legitimasi selesai.


Makna


Sidang Tahunan MPR mestinya menjadi ruang untuk menguji arah bangsa. Di sinilah para pemimpin bisa mempertanyakan kembali prioritas kebijakan, menjelaskan keputusan yang sulit, bahkan mengakui kekeliruan.


Makna sejatinya ada pada keberanian untuk membuka ruang dialog, bukan sekadar monolog kenegaraan. Namun, yang terjadi adalah pengulangan aman dari risiko.


Semua pihak menjaga nada agar tidak ada gesekan. Sidang menjadi panggung harmoni palsu: semua tampak rukun, padahal di luar gedung, rakyat berhadapan dengan harga pangan yang naik, lapangan kerja yang seret, dan konflik agraria yang tak terselesaikan.


Makna yang hilang itu bukan karena sidang ini tak penting, tapi karena ia kehilangan keberanian untuk menyentuh hal-hal sulit. Dan tanpa keberanian itu, makna akan terus terkikis, digantikan oleh kemegahan formalitas.


Sidang Tahunan MPR, seperti cermin, memantulkan wajah negara. Namun, yang kita lihat seringkali bukan wajah asli, melainkan wajah yang sudah dipoles.


Data keberhasilan dipajang di depan, sementara kegagalan diletakkan di catatan kaki yang jarang dibaca. Cermin ini bukanlah cermin yang retak, tapi cermin yang sengaja diarahkan hanya pada sisi yang ingin dilihat.


Dan karena itu, rakyat tak pernah mendapat gambaran utuh tentang republik yang mereka hidupi.


Cermin yang jujur akan menampakkan kerut di dahi, lelah di mata, dan luka di pipi.


Tapi cermin di sidang ini lebih mirip etalase: ia memajang apa yang indah, menyembunyikan apa yang menyakitkan.


Apa yang dimaksud dengan ruh dalam sidang negara? Ia bukan sekadar semangat, tapi nyawa yang membuat setiap kata bermakna.


Ruh hadir ketika sidang ini benar-benar menjadi tempat rakyat merasa didengar, ketika kebijakan yang dibicarakan lahir dari pengalaman riil, dan ketika pemimpin berani berbicara tanpa takut pada kebenaran yang pahit.


Ruh juga hadir ketika sidang ini mampu melahirkan gagasan yang memicu perubahan, bukan hanya mengulang target yang sama setiap tahun. Tanpa ruh itu, Sidang Tahunan MPR hanyalah panggung yang megah, tapi kosong.


Kita perlu mengembalikan ruh itu—bukan dengan mengubah dekorasi atau durasi pidato, tapi dengan mengubah hubungan antara mimbar dan rakyat. Karena pada akhirnya, sidang ini bukan hanya tentang negara berbicara, tapi tentang negara mendengar.


Sidang Tahunan MPR 2025 akan tetap berlangsung, dengan semua simbol dan tata tertibnya. Namun pertanyaannya selalu sama: apakah ia akan menjadi ruang yang hidup atau sekadar ritual yang kehilangan ruh?


Negara bisa saja mengklaim kemajuan, tapi rakyat yang merasakan keseharian akan tahu apakah kata-kata di mimbar itu nyata atau sekadar hiasan.


Dan ketika jarak antara kata dan kenyataan terlalu lebar, ruh itu akan menguap—meninggalkan kita hanya dengan upacara yang indah, tapi tanpa jiwa.


Penulis adalah Dosen Fakultas Hukum Universitas Pasundan & Sekretaris APHTN HAN Jawa Barat


Sumber: Kompas.com

Show comments
Hide comments
Tidak ada komentar:
Tulis komentar

Berita Terbaru

Back to Top